Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi) Tahun 2006


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fenomena geografi dan potensi kelautan, demografi dan masyarakat dengan sejarah yang sarat dengan budaya maritim merupakan salah satu kajian Antropologi dan menjadikan kelautan sebagai pola ilmiah. Sebab fenomena fisik alam kelautan yang merupakan objek dan fakta empirik general bagi pandangan saintis, sesungguhnya dilapisi keatas dengan fenomena budaya yang bervariasi dari suatu tempat dan masyarakat ke tempat-tempat dan masyarakat-masyarakat lannya di duna. Fenomena demografi dan budaya maritim yang melalui proses dinamika karena pengaruh kekuatan- kekuatan internal/konteks lokal dan eksternal merupakan kajian sosial budaya.
Mengikuti konsep Mukhlis Paeni, tatanan dan perkembangan budaya kemaritiman yang melibatkan negara dan politik serta perdagangan dunia yang disebutnya sebagai tradisi maritim besar (maritime great tradition) di bedakan dari tradisi maritim kecil (maritime little tradition) yang diacukan pada aktivitas penangkapan laut. Di konsepsikan demikian karena aktivitas tersebut dilakukan secara kecil-kecilan saja dan mereka yang terlibat didalamnya adalah rakyat miskin/golongan marginal penghuni daerah-daerah pesisir yang dikuasai oleh kelas-kelas pedagang/saudagar bermukim di kota-kota pantai. Mandegnya perkembangan tradisi maritim besar kreasi lokal di Nusantara ini setelah kemerdekaan Indonesia di ungkapkan oleh Mukhlis sebagai “harta yang kehilangan ahli waris”
Masyarakat maritim, terutama nelayan dan pelayar, merupakan kategori sosial yang sekali menjadi nelayan atau pelayar, akan sulit sekali meninggalkan lingkungan laut dan pekerjaannya untuk bergeser ke sektor-sektor ekonomi lainnya di darat. Sebab adaptasi dan menyatunya dengan lingkungannya sekaligus melibatkan adaptasi fisiologi, psikologi, sosial dan budayanya. Adaptasi fisiologi berupa penyesesuaian persaan bau, penglihatan, pendengaran, ukuran rongga pernafasan, mungkin juga tekanan darah. Adaptasi psikologi berupa penyesesuaian perasaan-perasaan dengan karakter laut (badai, ombak, keteduhan, suhu, iklim, pemandangan bebas), dan bahkan mungkin dengan prilaku biota laut. Seiring dengan hal-hal tersebut dalam masyarakat nelayan akhirnya
Bottom of Form
Zoom Out
Zoom In
Fullscreen
Exit Fullscreen
Select View Mode
View Mode
BookSlideshowScroll
timbul kepercayaan-kepercayaan yang cenderung mistis seperti sebagaian besar masyarakat nelayan dan pelayar lainnya di Nusantara. Misalnya di Sulawei Selatan, untuk hal yang demikian biasanya mereka mendasarkan kepada penegtahuannya dengan indraPakkita (penglihatan),Parengkkalinga (pendengaran),Parem ma u (penciuman), Panedding (firasat), dan Tenttuang (keyakinan) (Abu Hamid, 2003). Adaptasi sosial budaya dengan lingkungan laut memproduksi perangkat sikap-sikap dan dan pandangan menjadikan laut sebagai lingkungan habitat dan biota dari berbagai spesis disitu sebagai subjek. Subjek dengan mana mereka berinteraksi, jadi bukan semata sebagai objek yang di pelajari kemudian di eksploitasi. Pola-pola adaptasi yang kompleks dan ekstrim tersebtu akan menyulitkan orang-orang/manusia perahu keluar dari dunia baharinya. Memasuki lingkungan laut dan memanfaatkan sumberdaya di kandungnya serta jasa-jasa laut di sajikan memaksa manusia pengguna, harus bahkan mutlak bekerjasama dan melembagakan kehidupan kolektif. Kondisi laut berbahaya, sifat/pola perilaku spesis- spesis biota tangkapan, berat dan rumitnya pekerjaan, kebutuhan akan modal dan biaya- biaya yang mendesak yang tidak dapat ditanggung sendiri menjadi faktor utama diperlukannya secara mutlak kelembagaan dan kehidupan kolektif dalam masyarakat Maritim.
Dengan latar belakang ke maritiman yang luas dan untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan mutlak ekonomi, maka dari itu nelayan dan pelayaran banyak melakukan penyesuasian dan pengembangan pada pola teknologi produksi. Pada makalah ini kita akan membahas tentang teknologi Gae (Makassar/Bugis) atau purce siene, perangkat atau teknologi alat berupa pukat cincin yang banyak ditemukan pada nelayan di pesisir dan pulau-pulau di Nusantara dan Sulawesi Selatan pada khususnya. Untuk mengambil suatu objek maka pada makalah ini mengambil objek studi di Pulau Kodingareng, dengan alasan bahwa nelayan Kodingareng sebagian besar masih mengunakan teknologi alat tangkap Gae untuk menmanfaatkan sumber daya laut dalam hal ini biota ikan yang kaya di kawasan karang spemonde, Sulawesi Selatan. Cakupan mengenai perkembangan berbagai bentuk aktivitas/usaha perikanan yang menjadi implikasi dari proses perkembangan teknologi akan menjadi pusat perhatian dalam tulisan ini.
Masalah Penelitian
Dalam tulisan ini akan mengkaji tentang ruang lingkup Pagae atau nelayan mengoperasikan teknologi alat tangkap pukat cincin (purce siene) yang banyak di gunakan oleh nelayan di Nusantara, tetapi kali ini kami akan lebih spesifik tentang Pagae yang ada di Pulau Kodingareng. Tentang subtansi dari tulisan di bawah tentang pokok- pokok yang akan di bahas dan menjadi frame dari pada tulisan ini :
Pengetahuan yang menjadi landasan utama bagi nelayang dalam mengekplitasi lingkungan laut.
Teknologi alat tangkap dalam hal ini pukat cincin/purce siene atau dalam bahasa Makasar di sebut dengan Gae.
Organisasi dalam tubuh kelompok nelayan Pagae serta bagaimana mekanisme fungsi yang diatur dalam sebuah struktur.
Jaringan pemasaran hasil tangkapan yang diperoleh nelayan pagae yang menjadi sebuah mekanisme yang diatur oleh semua nelayan yang ada di Kodingareng.

Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini berorientasi pada karakteristik penelitian kualitatif deskriptif. Sehingga pengumpulan data akan di lakukan dengan mengandalkan validitas dan kualitas data yang ada di lapangan.
2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Lokasi :
Waktu :
3. Pemilihan Informan
Penentuan informan dilakukan secara purposive dengan mengambil beberapa orang sebagai sumber informasi yang tentunya berkaitan dengan fokus penelitian serta memiliki pengetahuan yang mendukung upaya pengumpulan data.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. studi pustaka (Library Research), yaitu pengumpulan data melalui literature serta referensi lainnya yang menyangkut pengetahuan dan informasi yang telah ada untuk dijadikan kerangka konseptual yang akan mengarahkan pada focus penelitian.
b. Studi Lapang (Field Research), yaitu dengan turun langsung ke lapangan melakukan penelitian guna mendapatkan data yang lebih valid mengenai peneletian. Untuk hal tersebut di perlukan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
- Observasi partisipatif, yaitu salah satu teknik yang digunakan untuk mengamati objek yang di teliti, data yang diperoleh melalui teknik ini berupa hasil pengamatan tentang aktivitas nelayan dan rumah tangga nelayan dalam kehidupan sehari-harinya.
- Wawancara (interview), yakni teknik yang di gunakan untuk medapatkan informasi atau data yang diinginkan dengan melakukan tanya jawab dengan informan. Proses yang wawancara yang dilakukan tentunya tak lepas dari pedoman wawancara yang telah di tentukan sebelumnya (wawancara terstruktur). Dan apabila ada hal yang sulit di ungkapkan oleh informan, maka di mungkinkan untuk melakukan wawancara bebas yang menggiring kita untuk mengorek informasi atau data secara mendalam (indepth interview). Teknik ini juga nantinya akan mendukung dan menguatkan data yang di peroleh melalui teknik pengamatan.


BAB II
PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Adapun mengenai demografi dan masyarakat di pulau Kodingareng pada umumnya sama dengan pulau di sekitarnya seperti pulau Barrang, Lae-lae dan lain-lain. salah satu pulau yang terletak diwilayah perairan barat kota Makassar, Pulau yang luasnya kurang lebih 1 Km2, berada di kawasan laut yang oleh kalangan kelautan mengenalnya dengan sebutan kawasan Spermonde (sebutan untuk kawasan laut pada masa penjajahan Belanda). Jarak dari Kota Makassar ke Pulau Kodingareng adalah kira-kira 2 mil atau memakan waktu perjalanan kira-kira 1 jam dengan menggunakan kapal reguler/kapal motor. setiap harinya ada tiga kapal reguler yang mengangkut penumpang dari pulau Kodingareng ke pelabuhan Kayubangkoa. Dari data-data kelurahan menyebutkan bahwa lebih dari 400 KK menghuni pulau tersebut, dan dari catatan itu pula menyebutkan kalau penduduk di Kodingareng merupakan yang terpadat di bandingkan dengan pulau-pulau sekitarnya. Pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu di pulau tersebut ditemukan masih merupakan kerabat. Walapun dalam sejarahnya pulau Kodingareng pernah dihuni oleh beberapa kelompok etnis (Makassar, Bajoe, Mandar dan Cina). Adapun sektor ekonomi atau mata pencaharian yang paling utama adalah profesi sebagai nelayan.
Dari sekian banyak nelayan yang terdapat di pulau tersebut dari hasil penelitian LPMA HUMAN juga menemukan sekitar 7 perahu yang beroperasi dengan menggunakan Gae yang sampai saat ini digunakan masyarakat nelayan Kodingareng. Nelayan yang menggunakan alat Gae dalam menetukan lokasi penangkapan ikan kadang tidak menentu sehingga sebagian Pagae justru mengoperasikannya diluar daerah seperti di Nusa tenggara bahkan sampai di kawasan laut Luwuk banggai, teluk Bone. Hal inilah yang menyulitkan data kami mengidentifikasi lebih detail tentang jumlah Pagae yang beropersi di pulau tersebut.
Sistem Pengetahuan
1. Pengetahuan pelayaran.
Berkaitan dengan aktivitas pelayaran, masyarakat nelayan mutlak membutuhkan pengetahuan-pengetahuan tentang musim-musim, kondisi cuaca, arus laut atau kondisi dasar dan tanda-tanda alam lainnya untuk menentukan waktu-waktu memulai pelayaran, kelancaran, keberhasilan, dan keselamatannya. Nelayan dan pelayar memilki pengetahuan tentang dua musim utama, yaitu musim barat dan musim timur yang menentukan waktu-waktu intensif atau sepinya aktivitas pemanfaatan sumber daya alam laut oleh nelayan Pagae. Pembagian dan karakterstik masing-masing pola musim tersebut, sebagai berikut :
• Bulan 12 – 6 berlangsungnya musim baratdengan hujan lebat, angin badai besar dengan arus kuat dari arah barat ke timur tidak atau kurang memungkinkan aktivitas nelayan dan pelayaran rakyat.
• Sebaliknya usim timur berlangsung antara bulan 7 – 12 di tandai dengan angn dan arus agak lemah dari timur ke barat memeberikan peluang besar bagi nelayan beroperasi secara intensif.
• Dari musim barat ketimur ada musim beralihan berlangsung selama kurang lebih 3 bulan. (bulan 5 – bulan 7) membawa angin denga goncangan ombak kurang menetu tak henti-hentinya. Di beberapa perairan terbukadi Indonesia bagian Timur, termasuk Sulawes Selatan kecuali sebagian wilayah Teluk Bone, sulit di masuki selama musim peralihan tersebut.
Mengenai perubahan musim, perubahan cuaca dan suhu, kondisi air laut, konisi dasar, yang mempengaruhi (positif negatif) aktifitas pelayaran dan eksploitasi sumber daya laut/perikanan, Nelayan Pagae misalnya berpedoman pada perangkat pengetahuan mereka tentang tanda-tanda di laut dan angkasa berupa kilat, awan hitam, bunyi kemudi perahu, cahaya laut, yang duhubungkan dengan peristiwa atau hal datangnya angin kencang, adanya batu karang, dan lain-lain sebagainya.
Khusus nelayan utamanya nelayan Pagae di Kodingareng, memiliki pengetahuan berdasarkan pengalaman dan warisan pengetahuan mengenai kondisi dasar (dalam, dangkal, berpasir, berlumpur, berbatu-batu, rata, landai, curam) dan kondisi air laut, terutama ombak dan arus. Pengetahuan seperti ini diperlukan bagi pilihan penggunaan jenis ikan.
2. Pengetahuan tentang klasifikasi biota laut bernilai ekonomis.
Klasifikasi pengetahuan tentang biota laut bernilai ekonomi yang dimiliki nelayan Pagae; Tembang, Sibula’, Katombo Banyara, ’Garonggong, Como-como, Cakalang, Layang, Tenggiri dan lain sebagainya.
3. Pengetahuan tentang lokasi penangkapan dan letak rumah/kawanan ikan di laut.
Dari akumulasi pengalaman dan warisan generasi tua, nelayan di mana-mana mempunyai pengetahuan tentang lokasi-lokasi ikan, bahkan letak rumah-rumah ikan targetnya:
Kognitif Map nelayan Pagae P. Kodingareng




















4. Pengetahuan mengenai lingkungan sosial.
Kelompok-kelompok nelayan tentu di kelilingi oleh kelompok-kelompok sosial dengan mana mereka berinteraksi, bekerjasama, atau bersaing memperebutkan peluang-peluang penguasaan sumber daya dan pasar. Pengetahuan tentang kondisi lingkungan sosial sekeliling tersebut digunakannya untuk menyusun siasat bagi pengambilan keputusan/pilihan tindakan (choice actions).
Struktur Organisasi
Di Kodingareng, dimana terdapat komuniti-komuniti nelayan dikenal kelompok- kelompok punggawa-sawi, yang menurut keterangan dari informan dari setiap desa nelayan yang ada di Sulawesi Selatan dan di Pulau Kodingareng pada khususnya, hal tersebut telah ada dan bertahan sejak ratusan tahun. Struktur inti/elementer kelompok organisasi ini ialah ponggawa laut/juragan dan sawi-sawi. Punggawa berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan sebagai pemilik alat-alat produksi. Mereka memiliki pengetahuan kelautan, penegtahuandan keterampilan manejarial, sementara sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan kerja/produksi semata. Bentuk struktural lain terjadi ketika suatu usaha perikanan mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh punggawa laut/juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh Kapitalisme. Untuk mengembangkan mempertahankan eksistensi usaha, maka ponggawa laut/juragan tidak ikut lagi memimpin pelayaran melainkan tetap tinggal didarat/pulau mengusahakan perolehan pinjaman modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggotanya yang beroperasi di laut dan lain-lain. Disinilah pada awalnya muncul satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang disebut punggawa darat. Untuk memimpin pelayaran dan aktivitas produksi di laut, ponggawa darat merekrut juraga-juragan baru menggantikan posisinya memimpin unit-unit usaha yang sedang berkembang/meningkat jumlahnya. Para juragan/punggawa laut dalam proses dinamika ini, sebagian lainnya masih bersatatus pemilik, sebagian hanyalah berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan. Para juragan yang rekrut dari sawi-sawi berbakat/potensil dkenal juga dengan istilah ponggawa caddi, sedangkan ponggawa besar disebut punggawa lompo.
Antara Punggawa dan Sawi biasanya masih sekerabat, karean demikianlah dasar untuk merekrut, seorang punggawa darat sebisa mungkin mengambil punggawa laut dari kerabatnya sendiri. Setali tiga uang dengan punggawa laut juga melakukan hal yang sama ketika merekrut sawi. Ada dua alasan untuk mempertahankan sistem perekrutan seperti itu. Pertama, hubungan kekerabatan dianggap sebagai landasan kuat untuk membina hubungan kerja. Kedua, memperkerjakan sanak saudara dianggap sebagai upaya agar uang tidak lari kelur keluarga, maka ada kecenderungan membawa anak-anaknya sendiri. Sekiranya tidak ada kerabat yang direkrut, mereka akan menawarkan posisi kepada tetangga (orang diluar keluarga). Kendati kental kekerabatannya, hubungan itu tidak mempengaruhi tugas dan wewenang masing-masing. Seorang punggawa laut tidak menganggap sawi sebagai bawahan begitu saja dan tidak memperlakukan mereka seperti buruh. Sawi dianggap sebagai mitra kerja yang sejajar. Sawi bisa keluar dari unit perahu yang di miliki seorang punggawa yang tidak jujur dalam pembagian hasil.
Perjanjian kerja antara punggawa dengan sawi dibuat secara lisan tanpa saksi, dan tidak terikat dengan batas waktu walaupun demikian, mereka merasa benar-benar terikat terhadap perjanjian tersebut. Misalnya seorang sawi yan berniat pindah ke kelompok nelayan yang lain, ia harus minta ijin kepada punggawanya. Jika sawi tidak punya utang terhadap punggawa, biasanya ia akan segera di ijinkan untuk pindah dan keluar dari kelompok nelayan tempat ia bekerja selama ini, sebaliknya punggawa biasanya menerima sawi yang ingin bergabung kembali ke kelompok nelayan semula.
Batasan kewenangan atau kekuasaan punggawa darat sebagai pemilik modal juga terbatas. Misalnya, punggawa darat tidak mempunyai hak untuk menentukan hari melaut atau menetukan lokasi penangkapan. Sebaliknya pemilik modal atau alat tangkap bisa memberhentikan punggawa laut, seandainya terbukti malas atau culas alam bekerja. (Muhammad Ridwan Alimuddin, 2005)
Pola hubungan (struktur sosial) menandai hubungan-hubungan dalam kelompok ponggawa-sawi bak dalam bentuknya yang elementer (ponggawa/juragan-sawi) maupun yang lebh kompleks (ponggawa darat-ponggawa laut-sawi) ialah hubungan patron-client: dari atas bersifat servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal, sedangkan dari bawah hubungan mengandung hubungan moral dan sikap-sikap ketaatan dan kepatuhan, loyaltas, kejujuran dan tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain.
Dalam karakteristik personal pekerja yang berlaku pada konsep Pagae, dikenal
struktur Punggawa dan sawi dengan pembagian peran sebagai berikut:
• Punggawa, bertugas menjalankan kapal atau navigator, memberikan instruksi
kepada sawi, dan menetukan lokasi penangkapan
• Basnes, juru mesin/ mekanik yang menjalankan mesin motor penggerak kapal.
• Pappela assi, bertugas menurunkan dan menaikkan jaring sambil dirapikan, untuk
tugas seperti ini dibutuhkan 3 – 5 orang.
• Pappela batu, bertugas menurunkan dan menaikkan tumbera keatas kapal sambil
merapikannya untuk tugas seperti ini dibutuhkan 2 orang
• Pappela pato’, bertugas menaikkan dan menurukkan pato-pato.
• Pattiro juku, bertugas mendeteksi ikan-ikan dilaut
• Pa sampe, bertugas mengangkat ikan hasil tangkapan dari jaring
• Pa jama gae, bertugas memperbaiki gae yang rusak atau putus.
Teknologi Produksi
Gae menurut keterangan merupakan modifikasi dari Gae tawang (sejenis pukat kecil). Oleh karena untuk menggerakkan bodi berkapasitas puluhan ton dengan kecepatan tinggi ke lokasi-lokasi perikanan dalam yang jauh dari pantai serta mengangkat jaring dari air mutlak di perlukan beberapa buah mesin berkekuatan tinggi. Ada gejala bahwa gae akan menjadi cikal bakal perkembangan mekanisme armada perikanan laut di Indonesia bagian Timur dimasa yang akan datang. Menurut keterangan dari beberapa nelayan alat ini baru muncul dan mulai digunakan sekitar akhir tahun 1970-an atau awal tahun 1980-an tetapi dengan ukuran yang lebih kecil dari pada yang sekarang. Gae menurut keterangan merupakan modifikasi dari Gae tawang (sejenis pukat kecil) kalau bukan hasil modifikasi dari panjak/jala lompo (payang). Ide pengembangan pukat tradisional menjadi pukat raksasa sudah pasti merupakan akibat muncul dari treadopsinya mesin dari berbagai jenis merek dan kekuatan. Dari keterangan masyarakat nelayan di Pulau Kodingareng juga membenarkan bahwa di pulau tersebut memang pada awal tahun 1980-an telah mulai dikenal teknologi alat tangkap sejenis pukat cincin yang mereka sebut dengan Gae.
Seperti halnya di berbagai desa-desa nelayan di kawasan timur Indonesia lainnya, motorisasi perahu-perahu penangkapan ikan di pulau Kodingareng dan pulau-pulau sekitarnya baru mulai di tahun 1970 an. Mula-mula hanya beberapa orang nelayan berstatue punggawa (pemilik alat-alat produksi)dan pemimpin aktivitas dilaut ) mampu mengkredit motor dari pengusaha-pengusaha besar di kota Makassar. Introduksi inovasi motor ke desa-desa nelayan melalui Dinas Perikanan, namun pengusaha/pedagang besarlah, yang sebagian besar berkedudukan di kota memegang peranan penting dan mempunyai akses meneruskan dan memperkenalkan secara luas inovasi tersebut kepada masyarakat nelayan melalui para ponggawa darat dengan aturan/mekanisme kredit. Menurut informasi pada mulanya semua unit motor yang masuk ke pulau-pulau atau desa nelayan hanya berukuran 4,5 – 10 pk, motor kecil dipasang di luar perahu (outboard motor) dan samapi pada tahun-tahun 1990 an sebagian besar perahu nelayan sudah menggunakan motor dalam berkekuata minimal 20 pk, perahu-perahu nelayan pengguna gae bahkan rata-rata menggunakan mesin double berekekuatan 100-130 pk.
Karena motor sendiri adalah salah satu komponen modal vital yang membutuhkan biaya-bioaya opersional yang terus menerus , maka ini harus difungsikan dengan penggunaan alat-alat tangkap produktif. Di Sulawesi selatan diantara sekian banyak alat tangkap tradisional masih digunakan nelayan, terdapat beberapa diantaranya lebih berasosiasi dengan motor seperti misalnya dalam makalah ini adalah pukat Gae. Dapat dikatakan bahwa adopsi inovasi motor juga dapat memberikan sumbangan kepada pengembangan dan kontinyuiti teknologi tangkap tradisional tersebut, jadi bukanlah memusnahkannya.
Gae atau rengge (Purce siene) adalah sejenis pukat paling besar dan produktif dalam perikanan laut di Sulawesi selatan sampai sekarang ini. Berdasarkan keterangan nelayan di pulau Kodingareng bahwa gae ini baru muncul dan digunakan pada awal-awal tahun 1980 an tetapi degan ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan gae yang digunakan pada saat sekarang ini.
Komponen alat tangkap satu buah Gae’
• Mata jaring yang terdiri dari dua jenis yakni, Gae Sipak (digunakan untuk menjaring ikan berukuran kecil) dan gae Tawang (digunakan untuk menjaring ikan berukuran besar dan kuat seperti ikan Tongkol dan tenggiri)
• Tumbera, berupa cincin yang terbuat dari timah dengan berat kurang lebih 1 kg.
digunakan sebagai pemberat Gae.
• Pato’, sejenis bola plastik yang digunakan untuk melampungkan sisi atas gae
dipermukaan laut (dikaitkan pada sisi panjang Gae)
• Tali kalong, tali pengait tumbera sekaligus sebagai tali yang ditarik keatas
Menggunakan Gardang
• Arrisi pato, tali yang digunakan untuk mengikat Gae dengan Pato-pato
• Arrisi batu, tali yang digunakan untuk mengikat Gae dengan Tombera
• Bo’dong, pato induk yang berhubungan dengan ujung tali arrisi pato, yang
digunakan sebagai sebagai patokan pertama pada saat menurunkan gae.
Teknik pengoperasian Gae:
1. Langkah pertama yang dilakukan ketika kapal tiba di daerah penangkapan adalah
mengukur kedalaman laut untuk disesuaikan dengan lebar Gae’
2. Lampu petromaks yang dipasang di dua sekoci dinyalakan, sementara mesin
kapal dimatikan. (aktivitas ini khusus dilakukan pada malam hari).
3. Berselang beberapa waktu, salah satu sawi yang berada diatas sekoci memberikan
tanda dengan menutup lampu menggunakan baskom berwarna merah.
4. Punggawa yang menerima tanda itu segera memerintahkam sawi untuk memeriksa keadaan arus, menyalakan mesin kapal, mempersiapkan Gae untuk diturunkan.
5. Bo’dong yang paling pertama diturunkan sebagai pangkal tali.
6. Pa’pela pato, pa’pela batu dan pa’pela assi secara bersamaan menebarkan gae ke laut, dalam keadaan itu kapal sementara bergerak cepat melingkari sekoci yang berada di tengah-tengah.
7. Bo’dong tetap disorot dan menjadi acuan agar gae melingkar dengan sempurna.
8. Setelah kapal melingkar dan mencapai pangkal (Bo’dong), Kedua tali ujung gae dikaitkan ke kapal sementara Pa’pela batu segera menyalakan mesin gardang dan mengaitkan tali batu (tumbera).
9. Secara perlahan sawi yang bertugas menarik gae ke atas kapal sambil menyisir
ikan yang tersangkut dijaring.
10. Sementara gae ditarik, sawi yang lain merapikan gae pada posisi semula dan sawi
lainnya bertugas mengumpulkan ikan yang telah didapatkan.
Jaringan Pemasaran Hasil Tangkapan
Seperti diketahui bahwa masyarakat nelayan adalah masyarakat yang sepenuhnya bergantung kepada pasar, baik untuk keperluan penjualan hasil produksinya maupun untuk memperoleh berbagai kebutuhan hidupnya. Lagi pula pemasaran hasil-hasil laut sulit sekali dan tidak bisa ditunda-tunda. Berikut struktur jaringan pemasaran ikan yang didapatkan nelayan pagae untuk jenis ikan segar.
Nelayan Pagae-Pdg. Pengumpul/Pabalolang-TPI
• Hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan untuk pemasarannya memiliki mekanisme seperti jaringan, dalam hal ini setiap nelayan yang telah mendapatkan hasil tangkapan biasanya dijual kepada pedagang pengumpul. Di Kodingareng da pulau-pulau sekitarnya pada umumnya menyebutnya dengan istilahPabalo lang.
• Pabalolang merupakan profesi tersendiri dalam mekanisme pemasaran ikan. Aktifitas sehari-harinya adalah berkeliling disekitar nelayan yang mencari ikan, membeli an mengumpulkan hasil tangkapan langsung dari nelayan
• Tranksaksi antara nelayan dan pabalolang berlangsung di laut.
• Hasil tangkapan yang telah di beli Pabalolang selanjutnya dibawa ke Tempat
pelelangan ikan seperti di Paotere maupun di TPI Rajawali
• Hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan untuk pemasarannya memiliki mekanisme seperti jaringan, dalam hal ini setiap nelayan yang telah mendapatkan hasil tangkapan biasanya dijual kepada pedagang pengumpul. Di Kodingareng da pulau-pulau sekitarnya pada umumnya menyebutnya dengan istilahPabalo lang.
• Pabalolang merupakan profesi tersendiri dalam mekanisme pemasaran ikan. Aktifitas sehari-harinya adalah berkeliling disekitar nelayan yang mencari ikan, membeli an mengumpulkan hasil tangkapan langsung dari nelayan
• Tranksaksi antara nelayan dan pabalolang berlangsung di laut.
• Hasil tangkapan yang telah di beli Pabalolang selanjutnya dibawa ke Tempat
pelelangan ikan seperti di Paotere maupun di TPI Rajawali
 

BAB III
KESIMPULAN
Penduduk nelayan di Indonesia pada umumnya menghuni daerah pesisir pulau-pulau besar dan memenuhi pulau-pulau kecil yang sangat banyak jumlahnya. Mereka ini di kategorikan sebagai nelayan karena sebagian besar ataus sepenuhnya menggantungkan kehidupan ekonominya secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, dengan mengantungkan beberapa tipe perahu dan jenis-jenis alat/teknik eksploitasi sumber daya laut.
Pengetahuan yang menjadi landasan utama bagi nelayang dalam mengekplitasi lingkungan laut. Yang diuraikan sebagai berikut :
1.      Pengetahuan tentang pelayaran
2.      Pengetahuan tentang biota laut yang bernilai ekonomis
3.      Pengetahuan tentang lokasi tepat/rumah ikan
4.      Pengetahuan tentang lingkungan sosial.
Pola hubungan (struktur sosial) menandai hubungan-hubungan dalam kelompok ponggawa-sawi bak dalam bentuknya yang elementer (ponggawa/juragan-sawi) maupun yang lebh kompleks (ponggawa darat-ponggawa laut-sawi) ialah hubungan patron-client: dari atas bersifat servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal, sedangkan dari bawah hubungan mengandung hubungan moral dan sikap-sikap ketaatan dan kepatuhan, loyaltas, kejujuran dan tanggung jawab, pengakuan, dan lain- lain.
Di Sulawesi selatan diantara sekian banyak alat tangkap tradisional masih digunakan nelayan, terdapat beberapa diantaranya lebih berasosiasi dengan motor seperti misalnya dalam makalah ini adalah pukat Gae. Dapat dikatakan bahwa adopsi inovasi motor juga dapat memberikan sumbangan kepada pengembangan dan kontinyuiti teknologi tangkap tradisional tersebut, jadi bukanlah memusnahkannya.
Berikut struktur jaringan pemasaran ikan yang didapatkan nelayan pagae untuk jenis ikan segar 

Follower

 
Great HTML Templates from easytemplates.com | Edited by Soe86