Metode Penelitian Kualitatif

METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF[1]
Yahya[2]
1. Pengantar
Setiap peneliti tidak hanya wajib mempertanggungjawabkan hasil akhir penelitiannya, tetapi juga terhadap pijakan teoritis dan setiap langkah atau strategi yang digunakan di dalam melaksankan aktivitas penelitiannya. Hal itu penting oleh karena hasil akhir penelitian amat ditentukan oleh kerangka metodologi yang digunakan oleh peneliti. Dalam kaitan itu, maka setiap peneliti mutlak memiliki pemahaman yang komprehensif berkenaan dengan paradigma dan karakeristik metodologi yang ia gunakan. Untuk itu, dalam pembahasan ini akan diuraikan mengenai dasar teori dan karaktersitik penelitian kualitatif, strategi pengumpulan data, validasi data, analisis dan pelaporan hasil penelitian.

2. Dasar Teori dan karakteristik penelitian Kualitatif
Dalam penelitian kualitatif, teori diartikan sebagai suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data dan diuji kembali secara empiris. Dasar teori dalam penelitian kualitatif oleh Biklen dan Bogdan (1982) disamakan dengan paradigma. Paradigma diartikan sebagai kumpulan longgar tentang asumsi yang secara logis dianut bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan cara penelitian.

Sebelum paradigma pascapositivisme berkembang menjadi paradigma alternatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan, paradigma positivisme dianggap sebagai satu-satunya dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Karena itu paradigma positivisme itulah yang mewarnai pola pikir metodologi penelitian yang dikenal sebagai metodologi penelitian kuantitatif yang mendasarkan kegiatannya pada bentuk penelitian eksperimental dengan analisis statistik. Metode ini sempat diyakini sebagai satu-satunya pendekatan penelitian yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan secara objektif bagi semua bidang ilmu.

Namun dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata semakin banyak ilmuan, terutama ilmuan sosial, yang menyadari kelemahan paradigma positivisme. Para peneliti di bidang ilmu-ilmu sosial banyak menghadapi masalah yang tidak mampu dijawab secara tepat dengan menggunakan paradigma positivisme. Itu terjadi karena ilmuan sosial yang menjadikan manusia sebagai objek kajiannya, ternyata fenomenanya berbeda dengan fenomena alam. Jika fenomena alam relatif konstan dan berada di luar diri manusia sebagai fakta objektif, maka tidak demikian halnya dengan fenomena manusia atau fenomena sosial yang keadaannya sangat ‘cair’, kontekstual dan subjektif (berkaitan erat dengan emosi, harapan, norma-norma dan nilai-nilai yang dianutnya). Keadaan itulah yang mengkondisikan munculnya paradigma baru (pascapositivisme) sebagai paradigma alternatif yang diyakini ampuh untuk menjelaskan fenomena manusia. Bersamaan dengan itu, mulailah para peneliti ilmu-ilmu sosial beralih dari penelitian kuantitatif ke penelitian kualitatif – penelitian yang berupaya untuk menemukan kebenaran internal (subjek). Atau kebenaran dari perspektif subjek yang menjadi sasaran penelitian.

Jika pada awalnya hanya disiplin antropologi yang senantiasa menggunakan kerangka metodologi kualitatif – lebih dikenal dengan penelitian etnografi, maka dewasa ini penelitian kualitatif semakin banyak digunakan dalam beragam bidang ilmu, baik untuk penelitian dasar maupun penelitian terapan. Bahkan dalam penelitian pendidikan yang semula hanya didasarkan pada pengukuran kuantitatif, definisi operasional, dan menekankan pada fakta empiris, semakin berubah arah dengan memberikan tempat yang sentral pada riset kualitatif yang lebih menekankan pada analisis induktif, dengan deskripsi yang kaya nuansa dan mengkaji tentang persepsi manusia.

Paradigma pascapositivisme telah mempengaruhi para peneliti sosial budaya, dimana paradigma ini menyajikan suatu pandangan baru tentang realitas internal (kebenaran subjektif) dan menentang kebenaran objektif (kebenaran realitas eksternal). Smith (1984) yang mengutip pendapat Dilthei menyatakan bahwa: “suatu kesalahan bila positivisme berusaha memaksakan serta membuat hukum-hukum alam sebagai tujuan pokok penelitian sosial; sebab fenomena sosial yang rumit tidak memungkinkan untuk dibuatkan hukum-hukum seperti itu. Fenomena sosial dan tingkah laku manusia pada dasarnya hanya ada dalam pikiran manusia. Realitas itu selalu terikat oleh interaksi dialektik dari objek dan subjeknya. Maka terjadi banyak realitas sebanyak manusia yang terlibat. Orang boleh membentuk realitas dirinya atau realitas sosialnya menurut pandangan mereka sendiri dengan cara yang berbeda, dalam waktu dan tempat yang berbeda pula”.

Sungguhpun demikian, antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif mengumpulkan jenis data yang sama, yakni data kuantitas dan data kualitas. Hanya saja penelitian kuantitatif menganalisis data kualitas dengan menggunakan angka – karena perhitungannya selalu menggunakan statistik – sehingga dikembangkan sistem skala, yang berdasarkan tolok ukur tertentu. Suatu kualitas ditempatkan pada kelompok ranking dengan nilainya sesuai dengan model skalanya. Berbeda halnya dengan penelitian kualitatif yang menganalisis data kuantitas tetap dengan angka, dan data kualitas tidak diangkakan, tetapi dengan deskripsi kalimat yang rinci dengan nuansa maknanya yang jelas. Penelitian kualitatif memandang bahwa bagaimanapun kualitas tidak akan tepat untuk diangkakan, sebab dalam kenyataannya terdapat kelompok yang hampir sama namun memiliki perbedaan yang cukup bermakna. Dengan demikian, perlu dipahami bahwa dalam penelitian kualitatif sama sekali tidak mengabaikan data kuantitas dalam bentuk angka.

Metodologi penelitian kualitatif ditunjang oleh 5 (lima) perspektif teori, yakni: Pertama, fenomenologi. Perspektif ini memiliki kedudukan sentral dalam penelitian kualitatif, dan karena itu sering pula penelitian ini disebut sebagai penelitian fenomenologis. Fenomenologis memandang perilaku manusia (yang dikatakan dan dilakukan) sebagai produk atau hasil dari bagaimana orang melakukan penapsiran terhadap dunia mereka sendiri. Tugas peneliti adalah menangkap proses tersebut, dan untuk itu diperlukan apa yang disebut oleh Weber sebagai ‘verstehen’ atau pemahaman empatik (merasa berada di dalam diri orang lain). Dalam kata lain, untuk menangkap makna perilaku seseorang, peneliti harus berusaha melihat segalanya dari pandangan orang tersebut. Karena itu diperlukan sikap terbuka dan siap menerima segala kemungkinan yang berbeda dari dirinya. Selanjutnya dalam upaya untuk membentuk kebenaran, peneliti harus selalu melihat sesuatu dari pandangan yang multiperspektif.

Kedua, Hermeneutik. Perspektif hermeneutik mengarah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna dan dilakukan secara sengaja oleh manusia di dalam suatu konteks. Melakukan interpretasi atas interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri (Smith, 1984). Interpretasi atas interpretasi ini merupakan proses tanpa awal dan akhir dengan perkembangan penciptaan makna-makna baru. Makna ekspresi manusia selalu terikat dengan konteksnya. Maka untuk memahami suatu ekspresi, orang harus memahami konteksnya. Hermeneutik mempersyaratkan aktivitas konstan dari interpretasi antara bagian dan keseluruhannya yang merupakan proses tanpa awal dan akhir. Oleh karena itu, peneliti kualitatif hanya dapat menyajikan suatu interpretasi (yang didasarkan pada nilai, minat, dan tujuan) atas interpretasi orang lain (subjek yang diteliti) yang juga didasarkan pada nilai, minat dan tujuan mereka sendiri. Hubungan antara peneliti dengan yang diteliti bersifat dialektik, dan tak pernah menganggap bahwa setiap deskripsi bersifat definitif. Validitas keputusan mengenai sesuatu dapat diwujudkan dalam deskripsinya yang tegas, bersama dengan pengalaman orang lain dalam suatu konteks antarsubjektif. Kesimpulan makna yang kaya selalu merupakan hasil interaksi tafsir yang bersifat antarsubjektif dalam suatu konteks dengan sikap keterbukaan.

Ketiga, interaksi simbolik. Perspektif ini didasarkan pada pandangan bahwa pengalaman manusia diperoleh lewat interaksi. Objek, situasi, orang dan peristiwa, tidaklah memiliki maknanya sendiri. Adanya makna dari berbagai hal tersebut karena “diberi” berdasarkan interpretasi. Manusia secara konstan berada di dalam proses interpretasi dan definisi selama mereka bergerak dari suatu situasi ke situasi yang lain. Setiap situasi atau aspek-aspeknya didefinisikan secara berbeda berdasar atas sejumlah alasan tertentu. Salah satu alasan adalah bahwa setiap pelaku selalu membawa serta masa lalu yang unik dan cara tertentu dalam mengiterpretasikan yang mereka alami. Dari perspektif itu semua organisasi sosial terdiri dari para pelaku yang mengembangkan definisi tentang situasi atau perspektif lewat interpretasi dan selanjutnya mereka bertindak sesuai dengan makna tersebut.

Keempat, etnometodologi. Perspektif ini mengharuskan peneliti untuk berusaha memahami bagaimana orang-orang melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Sasaran penelitian ini berbeda dengan metode etnografi tradisional yang lebih menekankan sasaran studi pada masyarakat lain atau suku-suku terasing, tetapi orang-orang dalam pelbagai macam situasi masyarakat yang ditelitinya.

Kelima, Perspektif kebudayaan. Kalangan ahli antropologi menggunakan konsep kebudayaan sebagai kerangka teoritis utama dalam melakukan pekerjaan riset mereka. Salah satu orientasi teori kebudayaan yang digunakan oleh ahli antroplogi untuk mempertajam penelitiannya adalah kebudayaan dipahami sebagai pengetahuan yang diperoleh seseorang dan digunakan untuk menafsirkan pengalaman dan menghasilkan perilaku (Spradley, 1980). Perilaku selalu didasarkan pada makna sebagai hasil persepsi terhadap kehidupan para pelakunya. Apa yang dilakukan dan mengapa melakukannya senantiasa dipengaruhi oleh latar kebudayaannya yang khusus. Budaya yang berbeda melatih orang secara berbeda pula dalam menangkap makna persepsi. Budaya merupakan cara khusus dalam membentuk pikiran dan pandangan manusia (Cohen, 1971).

Berdasarkan atas teori-teori tersebutlah sehingga terbentuk karakteristik penelitian kualitatif yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Karakteristik penelitian kualitatif yang dimaksud di antaranya: (1) setting-nya alamiah (tidak menggunakan perlakuan atau treatment); (2) holistik (tidak parsial, keutuhan makna hanya dapat dipahami bila dikaitkan dengan keseluruhan bagian-bagiannya); (3) analisis induktif; (4) analisis dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data; (5) desain penelitian bersifat tentatif; (6) perspektif emik; (7) peneliti sebagai instrumen kunci; (8) laporan dalam bentuk kasus.

3. Penerapan Teknik Penelitian Kualitatif
3.1 Jenis Penelitian Kualitatif
Menyangkut jenis penelitian, tidak terdapat perbedaan antara penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif, yaitu meliputi penelitian dasar dan penelitian terapan. Hanya saja jenis penelitian dasar dalam riset kuantitatif umumnya berbentuk survey dan beragam rangcangan percobaan. Dalam penelitian kualitatif umumnya berbentuk etnografis atau studi kasus. Dilihat dari tingkatannya, penelitian kualitatif dapat berupa eksploratif, deskriptif atau eksplanatif (hubungan kausal) sebagaimana halnya dalam penelitian kuantitatif. Namun penelitian kualitatif tidak merumuskan hipotesis, karena riset ini bersifat induktif atau didasarkan pada pemahaman lapangan atau konteks.
Untuk penelitian terapan, penelitian kualitatif sama halnya dengan kuantitatif yang meliputi penelitian kebijakan, evaluasi, dan pengembangan. Khusus untuk penelitian evaluasi yang meruapakan bagian tak terpisahkan dari pengembangan masyarakat; penelitian kualitatif menggunakan penelitian aksi partisipasf (PAR – Participative Action Research). Kegiatannya tidak menggunakan cara uji coba, tetapi melaksanakan proses yang sesuai dengan keinginan masyarakatnya. Hasil akhir dari penelitian ini adalah bukan berupa model pengembangan yang akan diterapkan di tempat lain, karena peneliti sadar bahwa konteks yang berbeda memerlukan pengembangan yang berbeda pula.
Proses kegiatan penelitian evaluasi yang berorientasi bagi pengembangan adalah meliputi: (1) need assesment; (2) rancangan program; (3) kegiatan persiapan; (4) pelaksanaan program; (5) monitoring dan evaluasi; (6) pengembangan pelaksanaan; (7) evaluasi akhir program.

Evaluasi yang dilakukan secara bersamaan dengan monitoring untuk pengembangan program disebut sebagai evaluasi formatif. Sedangkan evaluasi yang dilakukan pada akhir program disebut sebagai evaluasi sumatif. Evaluasi formatif dilakukan dengan tujuan utama untuk menemukan kekuatan dan kelemahan selama masa pengembangan program sehingga dapat memberikan masukan bagi perbaikan pelaksanaan program selanjutnya. Evaluasi ini dilakukan oleh pembawa program secara bersama-sama dengan masyarakat yang menjadi sasaran program.

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk penelitian evaluasi formatif, maka pertanyaan utama yang hendak dijawab adalah (1) program apa saja yang dapat berjalan? (2) apa yang belum berjalan dan apa penyebabnya; (3) apakah input dan prosesnya sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakatnya? Apa saja yang dapat dinyatakan sebagai dampak program? Bagaimana persepsi sasaran dan staf pelaksanaannya?

Sasaran utama evaluasi formatif adalah pada peningkatan kualitas program, dimana kepuasan mengenai kualitas memerlukan adanya data yang rinci dan mendalam mengenai kondisi sosial budaya dan lingkungan masyarakat; jenis dan kualitas input yang telah diberikan bagi berlangsungnya proses yang diharapkan; kelancaran dan kualitas proses pelaksanaan program serta hasil capaiannya.

Sementara itu, evaluasi sumatif merupakan kegiatan penilaian yang bertujuan untuk menentukan seberapa jauh efektivitas dan efisiensi program secara menyeluruh, atau dengan kata lain untuk menilai hasil atau dampak dari program selama waktu yang telah ditentukan di dalam jangka waktu pelaksanaan, sesuai dengan yang direncanakan. Evaluasi ini semestinya dilakukan oleh pelaku di luar program.

3.2 Teknik Sampling
Teknik sampling adalah suatu proses bagi perumusan atau pemilihan siapa dan berapa banyak orang yang akan dijadikan sebagai sumber informasi. Sampling dalam penelitian kualitatif berbeda bentuknya dengan sampling dalam penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif menggunakan sampling statistik (probability sampling) yang mengarah pada usaha generalisasi statistik untuk merumuskan karakteristik populasi yang diwakili oleh sampling. Dalam penelitian kualitatif, sampling tidak diarahkan pada representasi jumlah yang mewakili populasi, melainkan representasi informasi yang sesuai dengan masalah penelitian. Karena itu, peneliti cenderung memilih informan yang dianggap mengetahui masalahnya secara lebih luas dan mendalam serta dapat dipercaya untuk menjadi sumber informasi atau data. Pemilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan peneliti dalam memperoleh data yang akurat.
Penentuan sampel semacam ini dikenal sebagai purpossive sampling. Kecuali itu, dalam penelitian kualitatif dikenal pula teknik sampling yang disebut time sampling. Time sampling adalah waktu yang dipilih oleh peneliti yang ia anggap paling tepat untuk mengunjungi informan guna mendapatkan data yang akurat dan terpercaya. Sedangkan snowball sampling adalah cara pemilihan informan yang didasarkan atas petunjuk informan I (pertama) ke informan ke II dan seterusnya serta tidak terencana sebelumnya hingga diperoleh data yang lebih lengkap dan mendalam berkenaan dengan masalah yang diteliti. Proses tersebut ibarat bola salju yang awalnya kecil dan terus menggelinding dan akhirnya semakin besar.

3.3 Pengumpulan Data
Dalam penelitian evaluasi formatif terdapat empat kategori data yang akan dikumpul, meliputi: Konteks, input, proses, dan output. Sumber datanya adalah dapat berupa manusia, peristiwa, tingkah laku, benda, arsip, dan dokumen. Keseluruhan sumber data tersebut menuntut adanya cara-cara tersendiri untuk mendapatkan data darinya. Strategi pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat dikelompokkan ke dalam dua cara, yakni: metode interaktif dan non interaktif. Metode Interaktif meliputi pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam; sedangkan metode non interaktif meliputi observasi tak berperan, kuesioner, dan mencatat dokumen atau arsip.

Dalam penelitian kualitatif, karena menekankan pada interaksi dan perspektif subjek yang diteliti, maka teknik terpenting adalah observasi partisipasi dan wawancara mendalam.

3.3.1 Pengamatan Berperan serta
Penggunaan teknik pengamatan dalam penelitian kualitatif dimaksudkan untuk menjaring informasi atau data mengenai konteks penelitian yang meliputi: Manusianya; kondisi sarana dan prasarana (sosial budaya, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan); kegiatan program dan aktor yang terlibat, interaksi informal, dan bahasa yang digunakan.

Berbagai jenis data yang disebutkan di atas dapat dikumpulkan secara tepat dan akurat, bilamana peneliti terlibat di dalamnya untuk melihat dan mendengarkan serta merasakan apa yang terjadi, dimana, kapan, siapa yang terlibat, dan bagaimana sesuatu bisa terjadi.

Tingkat keterlibatan peneliti terhadap konteks penelitiannya, oleh Spradley (1980) dikelompokkan ke dalam empat tingkatan, yakni:
1. Partisipasi pasif. Pengamat dalam hal ini sekali pun hadir di dalam konteks kegiatan yang diamati, namun ia tidak terlibat atau berinteraksi secara langsung dengan orang-orang dan peristiwa atau kegiatan yang menjadi objek pengematannya.
2. Partisipasi Moderat. Pengamat hadie dalam konteks yang diamati, beriteraksi dengan orang-orang dan objek yang diamatinya, namun ia senantiasa berupaya memposisikan dirinya sebagai pengamat.
3. Partisipasi aktif. Pengamat senantiasa berupaya melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang yag menjadi objek pengamatannya.
4. Partisipasi sempurna. Pengamat senantiasa berada dalam situasi dan berpartisipasi setiap hari pada semua kegiatan yang berkaitan dengan situasi yang sosial diamatinya.

3.3.2 Wawancara Mendalam
Jenis data yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam meliputi pengalaman, pendapat dan kepercayaan/keyakinan, pengetahuan mengenai program, norma, nilai, sikap, harapan, oreintasi pandangan dan tanggapan. Untuk mendapatkan data semacam itu, maka diperlukan syarat-syarat tertentu, seperti: (1) hubungan antara pewawancara dengan informan telah terjalin secara relatif akrab; (2) waktu wawancara senantiasa disesuaikan dengan saat dimana informan siap untuk diwawancarai; (3) wawancara dilakukan secara lugas dan non formal; (4) Bahasa yang digunakan oleh pewawancara seyogyanya bahasa yang paling dikuasasi oleh informan.
Dalam pelaksanaan wawancara, sekalipun dilakukan secara lugas da non formal, namun wawancara harus selalu dalam bingkai fokus penelitian. Untuk itu, peneliti harus menyusun pedoman wawancara (interview guide) agar wawancara tetap terarah pada fokus penelitian. Tetapi, jika terdapat masalah tertentu yang dianggap relevan dengan fokus penelitian, namun tidak tercantum dalam pedoman wawancara, maka hal tersebut harus ditanyakan.

Menurut Spradley (1979), wawancara mendalam non formal mengandalkan pada tiga bentuk pertanyaan, yakni:
1. Pertanyaan Deskriptif. Tipe pertanyaan ini lebih dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran umum tentang masalah tertentu yang kita telah. Sebagai contoh, dapatkah Bapak/Ibu menggambarkan keadaan Posyandu di desa ini.
2. Pertanyaan Struktural. Tipe pertanyaan ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi mengenai domain unsur-unsur tertentu yang diketahui oleh informan. Sebagai contoh, siapa-siapa saja yang terlibat dalam kegiatan Posyandu dan apa saja yang dilakukan oleh masing-masing orang tersebut?
3. Pertanyaan Perbandingan. Tipe pertanyaan ini dimaksudkan untuk mendapatkan penjelasan yang lebih mendalam dari informan berkenaan dengan masalah tertentu. Sebagai contoh, dapatkah Bapak/Ibu menjelaskan apa persamaan dan perdedaan antara kader A dan B dan seterusnya.

3.3.3 Focus Group Discussion (FGD)
FGD adalah sebuah teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemkanaan dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti.

Lebih jauh lagi teknik digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap makna-makna intersubyektif yang sulit dimaknakan sendiri oleh peneliti karena dihalangi oleh ketidaktahuan peneliti terhadap makna sesungguhnya dari orang-orang di sekitar sebuah fenomena yang sedang diteliti serta sejauh mungkin peneliti menghindari diri dari dorongan subyektivitas peneliti tersebut.

1. Peserta FGD
Peserta FGD harus mewakili sasaran/target program. Namun karena kualitas diskusi yang harus menjadi pertimbangan utama, maka peneliti harus mempertimbangkan siapa-siapa saja yang akan menjadi peserta FGD. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan peserta FGD adalah: 1) pengalaman praktis dan kepedualian terhadap masalah yang diteliti; 2) terlibat dalam fokus masalah; 3) tokoh otoritas terhadap kasus yang didiskusikan; 4) masyarakat awam yang tidak tahu menahu terhadap masalah, namun ikut merasakan persoalan sebenarnya; 5) Jumlah orang yang dipilih adalah antara 6 s/d 10 orang

2. Tempat FGD
FGD hendaknya diselenggarakan di tempat yang tenang dan cukup untuk 12 orang peserta (peserta, fasilitator dan notulen). Pencatat duduk di dekat fasilitator. Pencatat harus terlatih mencatat diskusi dan observasi reaksi kelompok yang non-verbal seperti reaksi wajah. Pencatat tidak ikut serta berdiskusi. Alternatif lain adalah dengan merekam seluruh pembicaraan.

3. Fasilitator FGD
Fasilitator FGD sebaiknya berjenis kelamin yang sama dengan peserta. Ia harus dapat menggunakan bahasa yang sama dengan yang digunakan oleh peserta. Fasilitator harus menguasai topik diskusi. Dengan pemahaman yang luas dan mendalam tentang topik akan memudahkannya untuk mengajukan probing (pertanyaan pendalaman) tentang pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diskusi. Selain itu, fasilitator juga harus mampu menciptakan suasana yang memungkinkan peserta mengeluarkan pendapatnya tanpa malu-malu

SEORANG FASILITATOR YANG BAIK
Kerjakan
Jangan Kerjakan


• Menunjukkan fleksibilitas

• Menunjukkan kepekaan

• Mampu menyatukan gagasan

• Secara aktif ikut memberi semangat kepada setiap peserta untuk berperan serta dalam kelompok



• Mendiktekan arah diskusi

• Lepas kontrol dalam pembicaraan

• Membimbing/menggurui peserta

• Bersikap seperti seorang ahli

• Mengalihkan diskusi menjadi tanya-jawab


4. Sesi FGD
Pelaksanaan FGD dipimpin oleh seorang fasilitator diskusi dan juga dibantu oleh notulen atau sekretaris yang akan mencatat jalannya diskusi. Sebelum diskusi dilaksanakan, terlebih dahulu fasilitator dan notulen memperkenelkan diri, dan selanjutnya fasilitator meminta kepada peserta untuk memperkenalkan diri. Setelah itu, fasilitator mengarahkan fokus dan jalannya diskusi serta hal-hal yang akan dicapai pada akhir diskusi. Peserta benar-benar dihadapkan pada satu fokus persoalan yang sedang dihadapi dan dibahas bersama. Pada saat diskusi berlangsung, fasilitator diskusi selain menjadi katalisator, ia selalu mejaga dinamika diskusi agar diskusi berjalan dengan lancara.

Bahan diskusi dicatat dalam transkrip yang lengkap, semua percakapan dicatat sebagaimana adanya, termasuk komentar peserta kepada peserta lain, dan kejadian-kejadian khusus saat diskusi. Transkrip FGD dibuat berdasarkan kronologis pembicaraan agar memudahkan analisis.

3.4 Dokumen/Arsip
Dokumen dan arsip mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan fokus penelitian merupakan salah satu sumber data yang penting dalam penelitian/evaluasi. Dokumen yang dimaksud dapat berua dokumen tertulis, gambar/foto, atau film audio visual. Data statistik, laporan penelitian, tulisan-tulisan ilmiah merupakan dokumen penting yang perlu ditelusuri untuk memperkaya data yang dikumpulkan. Pengumpulan data untuk kegiatan evaluasi program dapat dilakukan pula dengan mempelajari laporan kemajuan dari perlakuan program.

3.5 Catatan Lapangan (Fieldnote)
Hasil penelitian yang diperoleh melalui pengamatan, wawancara mendalam dan FGD harus ditulis menjadi catatan lapangan. Catatan lapangan yang dimaksud di sini adalah bukan catatan yang dibuat sewaktu melaksanakan pengamatan dan wawancara di lapangan, melainkan catatan yang ditulis setelah pengamat atau pewawancara kembali ke rumah atau tempat tinggal lainnya. Catatan yang telah dikumpul di lapangan diubah ke dalam bentuk catatan yang lebih lengkap. Proses itu harus dilakukan setiap kali selesai melakukan pengamatan dan wawancara. Tidak boleh lalai, sebab ingatan seseorang terbatas dan karenya kemungkinan akan tercampur dengan informasi lain. Menurut Bogdan dan Biklen (1982) catatan lapangan adalah catatan tertulis mengenai apa yang dilihat, didengar, dialami dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data serta refleksi data. Dengan demikian catatan lapangan terdiri atas dua bagian penting, yakni bagian deskriptif (catatan mengenai data yang diperoleh di lapangan) dan bagian reflektif (catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai apa yang ada pada bagian deskriptif.

Catatan lapangan dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yakni: (1) catatan pengamatan dan wawancara; (2) catatan teori; (3) catatan metodologi. Pembuatan catatan lapangan harus berisi judul informasi yang dijaring dan waktu (jam, tanggal dan tempat pelaksanaan kegiatan pengamatan dan wawancara serta penyusunan catatan lapangan) serta diberi nomor urut sebagai bagian dari keseluruhan perangkat catatan lapangan. Sebagai contoh catatan lapangan hasil pengamatan:
Posyandu Melati Catatan Lapangan No. 1
RT II, Kec. Pengamatan Tgl 2-6-2002
Kabupaten Barru Jam 8.00 – 10.30
Disusun Jam 20.15
PENIMBANGAN BALITA
Hari Selasa, sekitar pukul 06.30 terdengar pengumuman dari menara mesjid bahwa hari ini ada kegiatan penimbangan Balita di Posyandu, dan ibu diharapkan untuk membawa anaknya ke Posyandu.
Sekitar pukul 08.00, setelah bertanya pada beberapa orang perihal lokasi Posyandu, saya tiba di sebuh rumah panggung, dimana dikolong rumah itulah Posyandu Melati berlokasi. Rumah itu berukuran agak besar dan kolong rumahnya terasa agak lapang dan bersih. Hanya saja di kolong rumah itu tidak tersedia papan nama Posyandu, poster dan tanda-tanda lainnya yang menunjukkan bahwa di tempat tersebutlah kegiatan Posyandu Melati selama ini dilaksanakan. Setengah jam kemudian, ibu pemilik rumah yang berusia sekitar 35 tahun yang juga seorang kader turun dari rumah membawa alat timbangan, dan tidak lama setelah itu datang 3 orang kader lainnya yang berusia sekitar 20-an tahun dan kemudian datang 2 orang perempuan dari Puskemas (perawat dan tenaga gizi). Sekitar pukul 09.00, datang seorang Bapak dengan mengendarai sepeda bersama dengan anaknya yang berusia 26 bulan. Anak itu kemudian diperiksa catatan status gizinya oleh tenaga gizi yang dari Puskesmas dan setelah itu ditimbang oleh kader dan hasilnya dicatat kembali oleh tenaga gizi.
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
Tanggapan Pengamat
Hanya seorang Bapak saja yang mengantar anaknya ke Posyandu, mengapa bapak-bapak lainnya tidak ikut mengantar anaknya ke Posyandu, dan ada apa dengan bapak itu sehingga ia yang mengantar anaknya ke Posyadu?
Peran yang dijalankan oleh kader tidak lebih dari sekadar menimbang Bayi-

3.6 Validasi data Data yang telah dikumpulkan wajib diusahakan kemantapan dan kesahihannya. Artinya setiap peneliti harus menentukan suatu cara guna meningkatkan validitas dan yang diperolehnya, demi kemantapan kesimpulan dan tafsir makna penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif terdapat tiga bentuk validasi data, yakni trianggulasi, review informan, dan member chek.

3.6.1 Trianggulasi
Trianggulasi merupakan cara yang paling umum digunakan dalam memvalidasi data pada penelitian kualitatif (Patton, 1984) menyatakan bahwa ada 4 macam triangguilasi:
1. Trianggulasi data
Penelitian dengan menggunakan sumber data yang berbeda untuk mengumpulkan data yang sejenis atau sama. Sebagai contoh, data tentang kegiatan posyandu yang diperoleh melalui wawancara dengan kader dapat dibandingcocokkan dengan data yang diperoleh dari masyarakat yang menjadi pengguna Posyandu
2. Trianggulasi Peneliti
Data sejenis yang dikumpulkan oleh beberapa orang peneliti. Cara praktis yang dapat dilakukan adalah diskusi antarpeneliti untuk membahas suatu data atau fenomena yang ada dalam kelompok sasaran program. Cara ini akan meningkatkan validitas data yang diperoleh sekaligus untuk memperkaya analisis.
3. Trianggulasi Metode
Trianggulasi metode merupakan pengembangan data yang sejenis dengan menggunakan metode-metode yang berbeda. Sebagai contoh, data tentang pendapat masyarakat mengenai program yang dilaksanakan, dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan FGD.
4. Trianggulasi Teori
Pembahasan masalah dengan menggunakan perspektif teori tisyang berbeda. Misalnya, masalah dalam masyarakat dipandang dari perspektif sosiologis, psikologis dan antropologis.

3.6.2 Review Informan
Laporan penelitian di review oleh informan (khususnya informan kunci) untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpul atau ditulis merupakan sesuatu yang dapat mereka setujui atau tidak. Dalam kaitan itu, maka antara pengumpul atau penulis data dengan informan perlu berdiskusi agar tercapai saling pengertian dan kesepakatan di antara mereka.

3.6.3 Member Chek
Laporan penelitian diperiksa oleh kelompok peneliti yang lain untuk mendapatkan pengertian yang tepat atau menemukan kekurangan-kekurangan untuk diperbaiki.
Robert K. Yin (1987) mengemukakan bahwa pokok-pokok pengumpulan data yang harus selalu diingat oleh peneliti, selain trianggulasi adalah dengan menggunakan sumber data ganda dengan melalui:
• Penyusunan Data Base
Yang merupakan bukti data yang telah dikumpulkan dalam segala bentuknya: deskripsi, skema, matriks, rekaman dan lain-lain guna memudahkan review serta penelusuran kembali proses penelitian pada waktu diperlukan.

• Penyusunan Mata Rantai berkaitan semua bukti penelitian
Dilakukan untuk meningkatkan realibilitas informasi penelitian. Prinsip ini didasarkan atas pemikiran yang sama seperti dalam kriminologi.

3.7 Analisis Data
Proses analisis dalam penelitian kualitatif sering merupakan bagian yang paling sulit bagi peneliti. Sebagian peneliti karena kurang memahami prosesnya, kemudian melakukan analisis yang sangat sederhana. Akibatnya kesimpulan penelitiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara mantap. Sebagian peneliti merasa kebingungan tidak mengetahui apa yang akan dilakukan setelah proses pengumpulan data berakhir, dan menghadapi kenyataan tumpukan data tertulis yang demikian banyak. Hal ini sangat mungkin disebabkan karena kebanyakan literatur kualitatif di masa lampau memang kurang menjelaskan proses analisis data secara lebih rinci. Riset Ethnografi yang merupakan bentuk penelitian kualitatif tertua, tidak menjelaskan proses analisisnya yang kebanyakan dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan proses pengumpulan data.

Dewasa ini, literatur penelitian kualitatif seudah banyak yang mencoba menjelaskan proses analisis data secara lebih rinci, walau masih beragam sesuai dengan sifat keterbukaan dan kelenturan pendekatan ini. Data berupa kalimat yang dikumpulkan lewat observasi dan wawancara, dokumen dan lain-lainnya yang sudah tersusun teratur, tetap merupakan data yang besar jumlahnya sebelum siap digunakan dalam analisis. Apa yang harus dilakukan oleh peneliti dengan data kalimat yang banyak tersebut?

Proses analisis perlu dilakukan pada waktu bersamaan dengan proses pengumpulan data, karena biasanya peneliti akan banyak menghadapi kesulitan bila menunggu sesudah data terkumpul seluruhnya. Demikian halnya dengan cara tradisional, karena peneliti kualitatif khususnya etnografis harus dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama. Menunda kegiatan analisis sampai pengumpulan data selesai, sering dipandang sebagai suatu kesalahan serius. Model yang paling baik adalah analisis mengalir. Ketiga komponen berjalan secara beriringan dengan kegiatan pengumpulan data. Begiru peneliti menyusun fieldnote lengkap, reduksi data segera dibuat dan diteruskan dengan sajian data. Dari membaca sajian data yang berupa sajian data yang berupa cerita dengan berbagai pendukungnya (matriks, tabel), peneliti dapat menyusun kesimpulan sementara. Kesimpulan ini tentu saja bersifat sementara karena proses pengumpulan data masih berlangsung. Degitu mendapatkan data baru dengan pemahaman baru, kemungkinan besar kesimpulan sementara tersebut akan perlu diubah secara tepat. Demikian seterusnya perjalanan pengumpulan data dan analisis berjalan bersamaan, sampai seluruh data selesai dikumpulkan. Pekerjaan peneliti dalam menyusun laporan selanjutnya sebagian besar hanya menyunting sajian data yang telah ditulis, untuk dijadikan sajian data dalam laporan akhir. Dengan melakukan cara analisis ini, peneliti juga tidak akan banyak memerlukan waktu dalam menyusun laporannya.

Proses analisis yang dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data tersebut dapat menggunakan berbagai cara yang antara lain terdapat dua alternatif analisis jalinan (flow model of anlysis) atau model analisis interaktif (Miles & Haberman, 1992). Sedangkan menurut Spradley (1980), analisis data – terutama data etnografi – dilakukan dalam bentuk “domain analysis” yang hasilnya berupa deskripsi beragam definisi, selanjutnya peneliti melakukan observasi terfokus dan mengajukan pertanyaan mengenai struktur, dan dilanjutkan dengan “taxonomic analysis” yang hasilnya memperoleh kelengkapan struktur dalam konteks, kemudian peneliti melakukan observasi terseleksi dengan mengajukan pertanyaan mengenai perbedaan-perbedaan dan melakukan “componential analysis, yang hasilnya berupa persamaan dan perbedaan. Dari hasil ketiga analisis tersebut selanjutnya dilakukan analisis tema.
Proses analisis yang dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut:

Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti membuat catatan sangat singkat dengan kata-kata kunci (agar tidak mengganggu proses pengumpulan data). Selanjutnya dari deskripsi singkat tersebut dikembangkan menjadi deskripsi lengkap, dilanjutkan dengan refleksi (metode, teori, etis, analisis) dengan beragam memo bila diperlukan. Deskripsi data dengan refleksinya tersebut disebut fieldnote Setelah unit data lengkap, peneliti mulai bekerja dengan tiga komponen analisis, yaitu: (1) reduksi data, yang isinya rumusan singkat dari setiap jenis temuan fieldnote, dilanjutkan dengan komponen (2) sajian data, yang berawal dari pokok-pokok temuan dalam reduksi data, peneliti mulai menulis “cerita” atau karangan mengenai kondisi sesuai dengan konteksnya yang diteliti, disertai dengan beragam matriks/tabel yang dipandang perlu, dan akhirnya komponen (3) penarikan kesimpulan dan verifikasinya, dilakukan berdasarkan uraian yang telah dibuat dalam sajian data. Dari hasil ini peneliti selanjutnya bisa meneruskan penelitiannya dan melakukan pemantapan dengan verifikasi sampai dengan proses pengumpulan data, berarti sajian data sudah lengkap ditulis. Dari sajian data ini laporan dikembangkan, dengan menambah dan menyunting karangan menjadi lebih lengkap dan menarik dan bila dimungkinkan juga menggunakan bahasa metaforis, sehingga maknanya menjadi lebih mantap.

3.8 Menyusun Kesimpulan Penelitian
Makna merupakan hal yang sangat penting yang harus ditemukan dalam penelitian kualitatif. Setiap peneliti berusaha menemukan makna dari data yang telah dikumpulkannya dengan teliti. Bagaimana cara menarik kesimpulan atau makna peristiwa yang sedang ditelitinya, seorang peneliti perlu bekerja keras. Miles & Huberman (1984) menyarankan suatu taktik yang terdiri dari duabelas pokok kegiatan:
1. Perhitungan. Sangat berkaitan dengan jumlah atau frekuensi. Angka atau jumlah sering diabaikan dalam penelitian kualitatif, karena lebih diorietasikan pada kualitas atau makna dari pada sekadar jumlah. Namun beberapa kali suatu peristiwa terjadi dapat merupakan suatu awal yang baik bagi penarikan kesimpulan yang mengarah pada makna.

2. Pencatatan pola atau tema: Dalam bekerja dengan sajian data yang kurang tersusun baik, peneliti sering menemukan pola atau tema yang berulang, yang artinya mungkin dapat dikelompokkan ke dalam satu tema keseluruhan yang terkumpul dari data yang terpisah-pisah, sehingga menjadi suatu yang dapat dimengerti kerangkanya. Dikaitkan dengan pemberian kode atau tema, kemungkinan akan dapat dikelompokkan peristiwa-peristiwa dalam kesatuan tema tertentu yang akan sangat membantu pekerjaan analisis selanjutnya.

3. Pencarian hal-hal yang masuk akal: Kegaiatan semacam ini sebaiknya dilakukan secara cepat didasari kekuatan intuitif. Peneliti dalam melihat data sering merasakan sesuatu yang masuk akal mengenai hubungan data dengan maknanya, namun tidak dapat menjelaskan secara jelas dan logis. Merasakan hal yang masuk akal ini merupakan satu kesan pertama yang sering menjadi dasar bagi kesimpulan analisis pada tahapnya yang paling awal.

4. Pengelompokan: Data yang terkumpul, yang semula merupakan data yang terpisah, dapat dikelompokkan ke dalam kelompok kelas atau kategori. Carilah bagian data yang mirip atau sama dengan yang lain. Mana yang dapat disatukan ke dalam satu kelompok dan mana yang tidak? Pengelompokan ini merupakan suatu taktik yang dapat dipakai pada berbagai tingkat data kualitatif; peristiwa atau tingkah laku pada perorangan pelakunya, pada proses, tempat dan sebagainya. Tetapi perlu diingat bahwa, kelompok-kelompok sebagai hasil dari taktik ini jangan terlalu dianggap pasti dan sangat mungkin memerlukan pengujian selanjutnya.

5. Pembuatan Metafora: Sebaiknya peneliti kualitatif tidak hanya mampu menulis secara metaforis, tetapi juga berpikir metaforis. Berbagai pernyataan peneliti tidak hanya yang nyata dan sekadar menceritakan data, tetapi dapat disajikan dalam bentuk yang lebih sugestif. Bentuk metafora diperlukan karena dirasakan lebih kaya dan lebih lengkap maknanya. Metafora juga merupakan suatu jalan dari fakta empirik menuju ke signifikansi fakta secara konseptual.

6. Pemilahan variabel: pemilihan ini dapat dilakukan pada banyak bagian data selama analisis. Sering terjadi bahwa perbedaan lebih penting dari pada penyatuan, agar berbagai bagian arau sub variabel dapat terlihat dengan jelas. Pemilihan ini sangat berguna bila skema pembuatan kode sedang dikembangkan, juga dalam perencanaan berbagai format matriks. Hal ini dilakukan terutama pada tahap awal untuk menghindari hal-hal yang bersifat monolit dan dapat mengaburkan data.
7. Peliputan dari yang khusus ke yang umum. Peliputan kekhususan-kekhususan ke dalam kelompok yang lebih umum merupakan suatu aktivitas konseptual dan teoritis. Peneliti melakukanya dengan berpikir ulang-alik di antara data tingkat awal dan kategori-kategori yang lebih umum yang melibatkan dan mengembangkan pengulangan kategori sampai pada tingkat yang dianggap cukup memuaskan. Pertanyaan yang perlu dihadapi adalah Apakah hal yang khusus ini merupakan cuplikan dari suatu yang lebih besar? Apakah ia merupakan suatu bentuk dari suatu yang lebih umum?

8. Pembuatan faktor: hal ini berasal dari analisis faktor yang merupakan suatu teknik statistik untuk menggambarkan sejumlah besar variabel ke dalam jumlah yang lebih kecil yang tak terukur, yang biasanya merupakan variabel hipotesis. Variabel tingkat kedua ini (faktor) mungkin secara luas tak berhubungan, atau mungkin terdapat beberapa kesamaan, atau bahkan saling tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Cara ini meliputi dua hal: (1) untuk mengurangi besarnya data, dan (2) untuk mendapatkan pola darinya.

9. Pencatatan hubungan antar variabel: dalam pembahasan kerangka kerja konseptual, pemikiran hubungan antar variabel dapat digambarkan secara sederhana dengan pikiran sebagai suatu deretan kotak dan panah-panah guna menunjukkan hubungan berbagai variabel tersebut. Begitu penganalisis mendapatkan alasan yang jelas tentang variabel-variabel yang berperan dalam suatu situasi, kemudian yang harus diketahui adalah bagaimana hubungan antar mereka itu terjadi, atau bila mungkin, hubungan dalam bentuk apa. Cara besar dalam analisis ini adalah melibatkan usaha untuk menemukan macam hubungan yang terjadi antara berbagai variabel. Peneliti di sini membuat pernyataan-pernyataan teoritis mengenai hubungan antar konsep, bukan hanya menulis pernyataan deskriptif tentang orang.

10. Penemuan Variabel Antara: sering terjadi pada waktu analisis dua variabel yang “seharusnya” mempunyai hubungan tertentu berdasarkan harapan-harapan konseptual, tetapi dalam kasus ternyata hubungannya Cuma samar-samar saja. Katakanlah misalnya, pengaruh bariabel A pada variabel B tidak sangat berarti sebagaimana yang dijarapkan. Dalam hal semacam ini sebaiknya peneliti mencoba untuk menemukan kemungkinan adanya variabel antara (intervening variabel) yang mungkin mempengaruhi hubungan antar variabel A dan B tersebut. Penemuan variabel antara ini akan menjadi mudah bila ada beberapa contoh dari hubungan antar variabel tersebut yang dapat dilihat dan dibandingkan.

11. Penyusunan Jaringan Logis Dari Sejumlah Bukti: di depan telah dinayatakan berbagai hal tentang pola, metafora, kelompok dan tema. Apa yang terjadi adalaha mengabstraksi informasi bersama-sama dengan membentuk keseluruhan yang sederhana, yang secara analitis lebih dari pada sekadar kumpulan bagian-bagiannya. Berbeda dengan bentuk jaringan kerja kausal, pendekatan ini lebih bersifat taktis dengan suatu orientasi khusus.
12. Penyusunan Hubungan Konseptual dan Teoritis: bila kita mencoba menentukan makna perilaku seseorang, maka pikiran kita akan melibatkan aktivitas penghubungan antara fakta abstrak yang satu dengan yang lainnya. Kemudian kita mengelompokkannya dengan suatu alasan yang komprehensif, menjadi pola yang lebih besar. Dari taktik awal kita bergerak secara progresif dari data empiris ke suatu pandangan yang lebih konseptual. Kita tidak lagi hanya memikirkan variabel yang jelas, tetapi juga yang tak teramati dan menghubungkannya secara berurutan dalam kaitan inferensial. Langkah selanjutnya adalah bergerak dari metafora dan hubungan antar variabel arah konstruksi-konstruksi, dan kemudian kepada teori-teori. Di sini peneliti perlu mengikat penemuan studinya dengan proposisi antar kasus yang dapat menjawab pertanyaan tentang “mengapa” dan “bagaimana” mengenai fenomena yang diteliti.


Kepustakaan
Bogdan, R. C. & Biklen, S.K. (1982). Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory an Methods. Boston, Mass: Allyn and Bacon, Inc.
Baogdan , R. C. & Tylor, S. J. (1975). Introduction to Qualitative Research Methods. New York: John Willey & Sons.
Bungin, Burhan (ed.) (2001) Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Lincoln, Y. S. & Guba, E.G (1985) Naturalistic Inquir. Baverly Hills, CA: Sage Publications.
Miles, M. B. & Huberman, A.M. (1992( Analisis Data Kualitatif (Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI-Press.
Moleong, L.J. (1997) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Spradley, J.P (1979). The Etnographic Interview. New York: Hold, Rinehart & Winston.
Spradley, J.P (1980). Participant Observation. New York: Hold, Rinehart & Winston.
Yin, R.K. (1987). Case Study Research: Design and Methods. Baverley Hills, CA. Sage Publications.


[1] Disajikan pada Pelatihan Penelitian Bagi Tenaga Gizi Pendamping di Desa Miskin/Terpencil di Sulawesi Selatan yang berlangsung dari tanggal 19 s/d 25 Juni 2002 di Pusat Studi Pangan, Gizi dan Kesehatan Universitas Hasanuddin. 
[2] Dosen pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin 

Follower

 
Great HTML Templates from easytemplates.com | Edited by Soe86