METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF[1]
Yahya[2]
1.
Pengantar
Setiap
peneliti tidak hanya wajib mempertanggungjawabkan hasil akhir penelitiannya,
tetapi juga terhadap pijakan teoritis dan setiap langkah atau strategi yang
digunakan di dalam melaksankan aktivitas penelitiannya. Hal itu penting oleh
karena hasil akhir penelitian amat ditentukan oleh kerangka metodologi yang
digunakan oleh peneliti. Dalam kaitan itu, maka setiap peneliti mutlak memiliki
pemahaman yang komprehensif berkenaan dengan paradigma dan karakeristik
metodologi yang ia gunakan. Untuk itu, dalam pembahasan ini akan diuraikan
mengenai dasar teori dan karaktersitik penelitian kualitatif, strategi
pengumpulan data, validasi data, analisis dan pelaporan hasil penelitian.
2. Dasar Teori dan karakteristik
penelitian Kualitatif
Dalam penelitian kualitatif, teori
diartikan sebagai suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat
proposisi yang berasal dari data dan diuji kembali secara empiris. Dasar teori
dalam penelitian kualitatif oleh Biklen dan Bogdan (1982) disamakan dengan
paradigma. Paradigma diartikan sebagai kumpulan longgar tentang asumsi yang
secara logis dianut bersama, konsep, atau proposisi yang mengarahkan cara
berpikir dan cara penelitian.
Sebelum paradigma pascapositivisme
berkembang menjadi paradigma alternatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
paradigma positivisme dianggap sebagai satu-satunya dasar bagi pengembangan
ilmu pengetahuan. Karena itu paradigma positivisme itulah yang mewarnai pola
pikir metodologi penelitian yang dikenal sebagai metodologi penelitian
kuantitatif yang mendasarkan kegiatannya pada bentuk penelitian eksperimental
dengan analisis statistik. Metode ini sempat diyakini sebagai satu-satunya
pendekatan penelitian yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan secara
objektif bagi semua bidang ilmu.
Namun dalam proses perkembangan ilmu
pengetahuan, ternyata semakin banyak ilmuan, terutama ilmuan sosial, yang
menyadari kelemahan paradigma positivisme. Para peneliti di bidang ilmu-ilmu
sosial banyak menghadapi masalah yang tidak mampu dijawab secara tepat dengan
menggunakan paradigma positivisme. Itu terjadi karena ilmuan sosial yang
menjadikan manusia sebagai objek kajiannya, ternyata fenomenanya berbeda dengan
fenomena alam. Jika fenomena alam relatif konstan dan berada di luar diri
manusia sebagai fakta objektif, maka tidak demikian halnya dengan fenomena
manusia atau fenomena sosial yang keadaannya sangat ‘cair’, kontekstual dan
subjektif (berkaitan erat dengan emosi, harapan, norma-norma dan nilai-nilai
yang dianutnya). Keadaan itulah yang mengkondisikan munculnya paradigma baru
(pascapositivisme) sebagai paradigma alternatif yang diyakini ampuh untuk
menjelaskan fenomena manusia. Bersamaan dengan itu, mulailah para peneliti
ilmu-ilmu sosial beralih dari penelitian kuantitatif ke penelitian kualitatif –
penelitian yang berupaya untuk menemukan kebenaran internal (subjek). Atau
kebenaran dari perspektif subjek yang menjadi sasaran penelitian.
Jika pada awalnya hanya disiplin
antropologi yang senantiasa menggunakan kerangka metodologi kualitatif –
lebih dikenal dengan penelitian etnografi, maka dewasa ini penelitian
kualitatif semakin banyak digunakan dalam beragam bidang ilmu, baik untuk
penelitian dasar maupun penelitian terapan. Bahkan dalam penelitian pendidikan
yang semula hanya didasarkan pada pengukuran kuantitatif, definisi operasional,
dan menekankan pada fakta empiris, semakin berubah arah dengan memberikan
tempat yang sentral pada riset kualitatif yang lebih menekankan pada analisis
induktif, dengan deskripsi yang kaya nuansa dan mengkaji tentang persepsi
manusia.
Paradigma pascapositivisme telah
mempengaruhi para peneliti sosial budaya, dimana paradigma ini menyajikan suatu
pandangan baru tentang realitas internal (kebenaran subjektif) dan menentang
kebenaran objektif (kebenaran realitas eksternal). Smith (1984) yang mengutip
pendapat Dilthei menyatakan bahwa: “suatu kesalahan bila positivisme berusaha
memaksakan serta membuat hukum-hukum alam sebagai tujuan pokok penelitian
sosial; sebab fenomena sosial yang rumit tidak memungkinkan untuk dibuatkan
hukum-hukum seperti itu. Fenomena sosial dan tingkah laku manusia pada dasarnya
hanya ada dalam pikiran manusia. Realitas itu selalu terikat oleh interaksi
dialektik dari objek dan subjeknya. Maka terjadi banyak realitas sebanyak
manusia yang terlibat. Orang boleh membentuk realitas dirinya atau realitas
sosialnya menurut pandangan mereka sendiri dengan cara yang berbeda, dalam
waktu dan tempat yang berbeda pula”.
Sungguhpun demikian, antara penelitian kuantitatif
dengan penelitian kualitatif mengumpulkan jenis data yang sama,
yakni data kuantitas dan data kualitas. Hanya saja penelitian kuantitatif menganalisis
data kualitas dengan menggunakan angka – karena perhitungannya selalu
menggunakan statistik – sehingga dikembangkan sistem skala, yang berdasarkan
tolok ukur tertentu. Suatu kualitas ditempatkan pada kelompok ranking dengan
nilainya sesuai dengan model skalanya. Berbeda halnya dengan penelitian kualitatif
yang menganalisis data kuantitas tetap dengan angka, dan data kualitas
tidak diangkakan, tetapi dengan deskripsi kalimat yang rinci dengan nuansa
maknanya yang jelas. Penelitian kualitatif memandang bahwa bagaimanapun
kualitas tidak akan tepat untuk diangkakan, sebab dalam kenyataannya terdapat
kelompok yang hampir sama namun memiliki perbedaan yang cukup bermakna. Dengan
demikian, perlu dipahami bahwa dalam penelitian kualitatif sama sekali
tidak mengabaikan data kuantitas dalam bentuk angka.
Metodologi penelitian kualitatif
ditunjang oleh 5 (lima) perspektif teori, yakni: Pertama, fenomenologi.
Perspektif ini memiliki kedudukan sentral dalam penelitian kualitatif, dan
karena itu sering pula penelitian ini disebut sebagai penelitian
fenomenologis. Fenomenologis memandang perilaku manusia (yang dikatakan dan
dilakukan) sebagai produk atau hasil dari bagaimana orang melakukan penapsiran
terhadap dunia mereka sendiri. Tugas peneliti adalah menangkap proses tersebut,
dan untuk itu diperlukan apa yang disebut oleh Weber sebagai ‘verstehen’ atau
pemahaman empatik (merasa berada di dalam diri orang lain). Dalam kata lain,
untuk menangkap makna perilaku seseorang, peneliti harus berusaha melihat
segalanya dari pandangan orang tersebut. Karena itu diperlukan sikap terbuka
dan siap menerima segala kemungkinan yang berbeda dari dirinya. Selanjutnya
dalam upaya untuk membentuk kebenaran, peneliti harus selalu melihat sesuatu
dari pandangan yang multiperspektif.
Kedua, Hermeneutik. Perspektif hermeneutik mengarah pada penafsiran ekspresi yang
penuh makna dan dilakukan secara sengaja oleh manusia di dalam suatu konteks.
Melakukan interpretasi atas interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau
kelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri (Smith, 1984). Interpretasi
atas interpretasi ini merupakan proses tanpa awal dan akhir dengan perkembangan
penciptaan makna-makna baru. Makna ekspresi manusia selalu terikat dengan
konteksnya. Maka untuk memahami suatu ekspresi, orang harus memahami
konteksnya. Hermeneutik mempersyaratkan aktivitas konstan dari interpretasi
antara bagian dan keseluruhannya yang merupakan proses tanpa awal dan akhir.
Oleh karena itu, peneliti kualitatif hanya dapat menyajikan suatu interpretasi
(yang didasarkan pada nilai, minat, dan tujuan) atas interpretasi orang lain
(subjek yang diteliti) yang juga didasarkan pada nilai, minat dan tujuan mereka
sendiri. Hubungan antara peneliti dengan yang diteliti bersifat dialektik, dan
tak pernah menganggap bahwa setiap deskripsi bersifat definitif. Validitas
keputusan mengenai sesuatu dapat diwujudkan dalam deskripsinya yang tegas,
bersama dengan pengalaman orang lain dalam suatu konteks antarsubjektif.
Kesimpulan makna yang kaya selalu merupakan hasil interaksi tafsir yang
bersifat antarsubjektif dalam suatu konteks dengan sikap keterbukaan.
Ketiga, interaksi simbolik. Perspektif ini didasarkan pada pandangan bahwa
pengalaman manusia diperoleh lewat interaksi. Objek, situasi, orang dan
peristiwa, tidaklah memiliki maknanya sendiri. Adanya makna dari berbagai hal
tersebut karena “diberi” berdasarkan interpretasi. Manusia secara konstan
berada di dalam proses interpretasi dan definisi selama mereka bergerak dari
suatu situasi ke situasi yang lain. Setiap situasi atau aspek-aspeknya
didefinisikan secara berbeda berdasar atas sejumlah alasan tertentu. Salah satu
alasan adalah bahwa setiap pelaku selalu membawa serta masa lalu yang unik dan
cara tertentu dalam mengiterpretasikan yang mereka alami. Dari perspektif itu
semua organisasi sosial terdiri dari para pelaku yang mengembangkan definisi
tentang situasi atau perspektif lewat interpretasi dan selanjutnya mereka
bertindak sesuai dengan makna tersebut.
Keempat, etnometodologi. Perspektif ini mengharuskan peneliti untuk berusaha
memahami bagaimana orang-orang melihat, menerangkan, dan menguraikan
keteraturan dunia tempat mereka hidup. Sasaran penelitian ini berbeda dengan
metode etnografi tradisional yang lebih menekankan sasaran studi pada
masyarakat lain atau suku-suku terasing, tetapi orang-orang dalam pelbagai
macam situasi masyarakat yang ditelitinya.
Kelima, Perspektif kebudayaan. Kalangan ahli antropologi menggunakan konsep
kebudayaan sebagai kerangka teoritis utama dalam melakukan pekerjaan riset
mereka. Salah satu orientasi teori kebudayaan yang digunakan oleh ahli
antroplogi untuk mempertajam penelitiannya adalah kebudayaan dipahami sebagai
pengetahuan yang diperoleh seseorang dan digunakan untuk menafsirkan pengalaman
dan menghasilkan perilaku (Spradley, 1980). Perilaku selalu didasarkan pada
makna sebagai hasil persepsi terhadap kehidupan para pelakunya. Apa yang
dilakukan dan mengapa melakukannya senantiasa dipengaruhi oleh latar
kebudayaannya yang khusus. Budaya yang berbeda melatih orang secara berbeda
pula dalam menangkap makna persepsi. Budaya merupakan cara khusus dalam
membentuk pikiran dan pandangan manusia (Cohen, 1971).
Berdasarkan atas
teori-teori tersebutlah sehingga terbentuk karakteristik penelitian kualitatif
yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Karakteristik penelitian kualitatif
yang dimaksud di antaranya: (1) setting-nya alamiah (tidak menggunakan
perlakuan atau treatment); (2) holistik (tidak parsial, keutuhan makna hanya
dapat dipahami bila dikaitkan dengan keseluruhan bagian-bagiannya); (3) analisis
induktif; (4) analisis dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data; (5)
desain penelitian bersifat tentatif; (6) perspektif emik; (7) peneliti sebagai
instrumen kunci; (8) laporan dalam bentuk kasus.
3. Penerapan Teknik
Penelitian Kualitatif
3.1 Jenis Penelitian
Kualitatif
Menyangkut jenis
penelitian, tidak terdapat perbedaan antara penelitian kualitatif dengan
penelitian kuantitatif, yaitu meliputi penelitian dasar dan penelitian
terapan. Hanya saja jenis penelitian dasar dalam riset kuantitatif umumnya
berbentuk survey dan beragam rangcangan percobaan. Dalam penelitian kualitatif
umumnya berbentuk etnografis atau studi kasus. Dilihat dari tingkatannya,
penelitian kualitatif dapat berupa eksploratif, deskriptif atau eksplanatif
(hubungan kausal) sebagaimana halnya dalam penelitian kuantitatif. Namun
penelitian kualitatif tidak merumuskan hipotesis, karena riset ini bersifat
induktif atau didasarkan pada pemahaman lapangan atau konteks.
Untuk penelitian
terapan, penelitian kualitatif sama halnya dengan kuantitatif yang meliputi
penelitian kebijakan, evaluasi, dan pengembangan. Khusus untuk penelitian
evaluasi yang meruapakan bagian tak terpisahkan dari pengembangan masyarakat;
penelitian kualitatif menggunakan penelitian aksi partisipasf (PAR – Participative
Action Research). Kegiatannya tidak menggunakan cara uji coba, tetapi
melaksanakan proses yang sesuai dengan keinginan masyarakatnya. Hasil akhir
dari penelitian ini adalah bukan berupa model pengembangan yang akan diterapkan
di tempat lain, karena peneliti sadar bahwa konteks yang berbeda memerlukan
pengembangan yang berbeda pula.
Proses kegiatan
penelitian evaluasi yang berorientasi bagi pengembangan adalah meliputi: (1) need
assesment; (2) rancangan program; (3) kegiatan persiapan; (4) pelaksanaan
program; (5) monitoring dan evaluasi; (6) pengembangan pelaksanaan; (7)
evaluasi akhir program.
Evaluasi yang
dilakukan secara bersamaan dengan monitoring untuk pengembangan program disebut
sebagai evaluasi formatif. Sedangkan evaluasi yang dilakukan pada akhir program
disebut sebagai evaluasi sumatif. Evaluasi formatif dilakukan dengan tujuan
utama untuk menemukan kekuatan dan kelemahan selama masa pengembangan program
sehingga dapat memberikan masukan bagi perbaikan pelaksanaan program
selanjutnya. Evaluasi ini dilakukan oleh pembawa program secara bersama-sama
dengan masyarakat yang menjadi sasaran program.
Dengan menggunakan
pendekatan kualitatif untuk penelitian evaluasi formatif, maka pertanyaan utama
yang hendak dijawab adalah (1) program apa saja yang dapat berjalan? (2) apa
yang belum berjalan dan apa penyebabnya; (3) apakah input dan prosesnya sesuai
dengan kondisi dan karakteristik masyarakatnya? Apa saja yang dapat dinyatakan
sebagai dampak program? Bagaimana persepsi sasaran dan staf pelaksanaannya?
Sasaran utama evaluasi
formatif adalah pada peningkatan kualitas program, dimana kepuasan mengenai
kualitas memerlukan adanya data yang rinci dan mendalam mengenai kondisi sosial
budaya dan lingkungan masyarakat; jenis dan kualitas input yang telah diberikan
bagi berlangsungnya proses yang diharapkan; kelancaran dan kualitas proses
pelaksanaan program serta hasil capaiannya.
Sementara itu,
evaluasi sumatif merupakan kegiatan penilaian yang bertujuan untuk menentukan
seberapa jauh efektivitas dan efisiensi program secara menyeluruh, atau dengan
kata lain untuk menilai hasil atau dampak dari program selama waktu yang telah
ditentukan di dalam jangka waktu pelaksanaan, sesuai dengan yang direncanakan.
Evaluasi ini semestinya dilakukan oleh pelaku di luar program.
3.2 Teknik Sampling
Teknik sampling adalah
suatu proses bagi perumusan atau pemilihan siapa dan berapa banyak orang yang
akan dijadikan sebagai sumber informasi. Sampling dalam penelitian kualitatif
berbeda bentuknya dengan sampling dalam penelitian kuantitatif. Penelitian
kuantitatif menggunakan sampling statistik (probability sampling) yang
mengarah pada usaha generalisasi statistik untuk merumuskan karakteristik
populasi yang diwakili oleh sampling. Dalam penelitian kualitatif, sampling
tidak diarahkan pada representasi jumlah yang mewakili populasi, melainkan
representasi informasi yang sesuai dengan masalah penelitian. Karena itu,
peneliti cenderung memilih informan yang dianggap mengetahui masalahnya secara
lebih luas dan mendalam serta dapat dipercaya untuk menjadi sumber informasi
atau data. Pemilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan peneliti
dalam memperoleh data yang akurat.
Penentuan sampel
semacam ini dikenal sebagai purpossive sampling. Kecuali itu, dalam
penelitian kualitatif dikenal pula teknik sampling yang disebut time
sampling. Time sampling adalah waktu yang dipilih oleh peneliti yang ia
anggap paling tepat untuk mengunjungi informan guna mendapatkan data yang
akurat dan terpercaya. Sedangkan snowball sampling adalah cara pemilihan
informan yang didasarkan atas petunjuk informan I (pertama) ke informan ke II
dan seterusnya serta tidak terencana sebelumnya hingga diperoleh data yang
lebih lengkap dan mendalam berkenaan dengan masalah yang diteliti. Proses
tersebut ibarat bola salju yang awalnya kecil dan terus menggelinding dan
akhirnya semakin besar.
3.3 Pengumpulan Data
Dalam penelitian
evaluasi formatif terdapat empat kategori data yang akan dikumpul, meliputi:
Konteks, input, proses, dan output. Sumber datanya adalah dapat berupa manusia,
peristiwa, tingkah laku, benda, arsip, dan dokumen. Keseluruhan sumber data
tersebut menuntut adanya cara-cara tersendiri untuk mendapatkan data darinya.
Strategi pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat dikelompokkan ke
dalam dua cara, yakni: metode interaktif dan non interaktif. Metode Interaktif
meliputi pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam; sedangkan metode non
interaktif meliputi observasi tak berperan, kuesioner, dan mencatat dokumen
atau arsip.
Dalam penelitian
kualitatif, karena menekankan pada interaksi dan perspektif subjek yang
diteliti, maka teknik terpenting adalah observasi partisipasi dan wawancara
mendalam.
3.3.1 Pengamatan
Berperan serta
Penggunaan teknik
pengamatan dalam penelitian kualitatif dimaksudkan untuk menjaring informasi
atau data mengenai konteks penelitian yang meliputi: Manusianya; kondisi sarana
dan prasarana (sosial budaya, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan);
kegiatan program dan aktor yang terlibat, interaksi informal, dan bahasa yang
digunakan.
Berbagai jenis data
yang disebutkan di atas dapat dikumpulkan secara tepat dan akurat, bilamana
peneliti terlibat di dalamnya untuk melihat dan mendengarkan serta merasakan
apa yang terjadi, dimana, kapan, siapa yang terlibat, dan bagaimana sesuatu
bisa terjadi.
Tingkat keterlibatan
peneliti terhadap konteks penelitiannya, oleh Spradley (1980) dikelompokkan ke
dalam empat tingkatan, yakni:
1. Partisipasi pasif. Pengamat dalam hal
ini sekali pun hadir di dalam konteks kegiatan yang diamati, namun ia tidak
terlibat atau berinteraksi secara langsung dengan orang-orang dan peristiwa
atau kegiatan yang menjadi objek pengematannya.
2. Partisipasi Moderat. Pengamat hadie dalam konteks yang diamati, beriteraksi dengan orang-orang
dan objek yang diamatinya, namun ia senantiasa berupaya memposisikan dirinya
sebagai pengamat.
3. Partisipasi aktif. Pengamat senantiasa berupaya melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang
yag menjadi objek pengamatannya.
4. Partisipasi
sempurna. Pengamat senantiasa berada dalam situasi
dan berpartisipasi setiap hari pada semua kegiatan yang berkaitan dengan
situasi yang sosial diamatinya.
3.3.2 Wawancara
Mendalam
Jenis data yang
dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam meliputi pengalaman,
pendapat dan kepercayaan/keyakinan, pengetahuan mengenai program, norma, nilai,
sikap, harapan, oreintasi pandangan dan tanggapan. Untuk mendapatkan data
semacam itu, maka diperlukan syarat-syarat tertentu, seperti: (1) hubungan
antara pewawancara dengan informan telah terjalin secara relatif akrab; (2)
waktu wawancara senantiasa disesuaikan dengan saat dimana informan siap untuk diwawancarai;
(3) wawancara dilakukan secara lugas dan non formal; (4) Bahasa yang digunakan
oleh pewawancara seyogyanya bahasa yang paling dikuasasi oleh informan.
Dalam pelaksanaan
wawancara, sekalipun dilakukan secara lugas da non formal, namun wawancara
harus selalu dalam bingkai fokus penelitian. Untuk itu, peneliti harus menyusun
pedoman wawancara (interview guide) agar wawancara tetap terarah pada
fokus penelitian. Tetapi, jika terdapat masalah tertentu yang dianggap relevan
dengan fokus penelitian, namun tidak tercantum dalam pedoman wawancara, maka
hal tersebut harus ditanyakan.
Menurut Spradley
(1979), wawancara mendalam non formal mengandalkan pada tiga bentuk pertanyaan,
yakni:
1. Pertanyaan
Deskriptif. Tipe pertanyaan ini lebih dimaksudkan untuk mendapatkan
gambaran umum tentang masalah tertentu yang kita telah. Sebagai contoh,
dapatkah Bapak/Ibu menggambarkan keadaan Posyandu di desa ini.
2. Pertanyaan
Struktural. Tipe pertanyaan ini dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi mengenai domain unsur-unsur tertentu yang diketahui oleh
informan. Sebagai contoh, siapa-siapa saja yang terlibat dalam kegiatan
Posyandu dan apa saja yang dilakukan oleh masing-masing orang tersebut?
3. Pertanyaan
Perbandingan. Tipe pertanyaan ini dimaksudkan untuk
mendapatkan penjelasan yang lebih mendalam dari informan berkenaan dengan
masalah tertentu. Sebagai contoh, dapatkah Bapak/Ibu menjelaskan apa persamaan
dan perdedaan antara kader A dan B dan seterusnya.
3.3.3 Focus Group
Discussion (FGD)
FGD adalah sebuah teknik
pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan
tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik
ini digunakan untuk mengungkap pemkanaan dari suatu kelompok berdasarkan hasil
diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga dimaksudkan
untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus
masalah yang sedang diteliti.
Lebih jauh lagi teknik
digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap makna-makna intersubyektif yang
sulit dimaknakan sendiri oleh peneliti karena dihalangi oleh ketidaktahuan
peneliti terhadap makna sesungguhnya dari orang-orang di sekitar sebuah
fenomena yang sedang diteliti serta sejauh mungkin peneliti menghindari diri
dari dorongan subyektivitas peneliti tersebut.
1. Peserta FGD
Peserta FGD harus
mewakili sasaran/target program. Namun karena kualitas diskusi yang harus
menjadi pertimbangan utama, maka peneliti harus mempertimbangkan siapa-siapa saja
yang akan menjadi peserta FGD. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam
menentukan peserta FGD adalah: 1) pengalaman praktis dan kepedualian terhadap
masalah yang diteliti; 2) terlibat dalam fokus masalah; 3) tokoh otoritas
terhadap kasus yang didiskusikan; 4) masyarakat awam yang tidak tahu menahu
terhadap masalah, namun ikut merasakan persoalan sebenarnya; 5) Jumlah orang
yang dipilih adalah antara 6 s/d 10 orang
2. Tempat FGD
FGD hendaknya
diselenggarakan di tempat yang tenang dan cukup untuk 12 orang peserta
(peserta, fasilitator dan notulen). Pencatat duduk di dekat fasilitator.
Pencatat harus terlatih mencatat diskusi dan observasi reaksi kelompok yang
non-verbal seperti reaksi wajah. Pencatat tidak ikut serta berdiskusi.
Alternatif lain adalah dengan merekam seluruh pembicaraan.
3. Fasilitator FGD
Fasilitator FGD sebaiknya berjenis kelamin
yang sama dengan peserta. Ia harus dapat menggunakan bahasa yang sama dengan
yang digunakan oleh peserta. Fasilitator harus menguasai topik diskusi. Dengan pemahaman
yang luas dan mendalam tentang topik akan memudahkannya untuk mengajukan probing
(pertanyaan pendalaman) tentang pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam
diskusi. Selain itu, fasilitator juga harus mampu menciptakan suasana yang
memungkinkan peserta mengeluarkan pendapatnya tanpa malu-malu
SEORANG FASILITATOR YANG BAIK
Kerjakan
|
Jangan Kerjakan
|
• Menunjukkan fleksibilitas
• Menunjukkan kepekaan
• Mampu menyatukan gagasan
• Secara aktif ikut
memberi semangat kepada setiap peserta untuk berperan serta dalam kelompok
|
• Mendiktekan
arah diskusi
• Lepas kontrol
dalam pembicaraan
•
Membimbing/menggurui peserta
• Bersikap
seperti seorang ahli
• Mengalihkan
diskusi menjadi tanya-jawab
|
4. Sesi FGD
Pelaksanaan FGD dipimpin oleh seorang
fasilitator diskusi dan juga dibantu oleh notulen atau sekretaris yang akan
mencatat jalannya diskusi. Sebelum diskusi dilaksanakan, terlebih dahulu
fasilitator dan notulen memperkenelkan diri, dan selanjutnya fasilitator
meminta kepada peserta untuk memperkenalkan diri. Setelah itu, fasilitator
mengarahkan fokus dan jalannya diskusi serta hal-hal yang akan dicapai pada
akhir diskusi. Peserta benar-benar dihadapkan pada satu fokus persoalan yang
sedang dihadapi dan dibahas bersama. Pada saat diskusi berlangsung, fasilitator
diskusi selain menjadi katalisator, ia selalu mejaga dinamika diskusi agar
diskusi berjalan dengan lancara.
Bahan diskusi dicatat dalam transkrip
yang lengkap, semua percakapan dicatat sebagaimana adanya, termasuk komentar
peserta kepada peserta lain, dan kejadian-kejadian khusus saat diskusi.
Transkrip FGD dibuat berdasarkan kronologis pembicaraan agar memudahkan analisis.
3.4 Dokumen/Arsip
Dokumen dan arsip mengenai berbagai hal
yang berkaitan dengan fokus penelitian merupakan salah satu sumber data yang
penting dalam penelitian/evaluasi. Dokumen yang dimaksud dapat berua dokumen
tertulis, gambar/foto, atau film audio visual. Data statistik, laporan
penelitian, tulisan-tulisan ilmiah merupakan dokumen penting yang perlu
ditelusuri untuk memperkaya data yang dikumpulkan. Pengumpulan data untuk
kegiatan evaluasi program dapat dilakukan pula dengan mempelajari laporan kemajuan
dari perlakuan program.
3.5 Catatan Lapangan (Fieldnote)
Hasil penelitian yang diperoleh melalui
pengamatan, wawancara mendalam dan FGD harus ditulis menjadi catatan lapangan.
Catatan lapangan yang dimaksud di sini adalah bukan catatan yang dibuat sewaktu
melaksanakan pengamatan dan wawancara di lapangan, melainkan catatan yang
ditulis setelah pengamat atau pewawancara kembali ke rumah atau tempat tinggal
lainnya. Catatan yang telah dikumpul di lapangan diubah ke dalam bentuk catatan
yang lebih lengkap. Proses itu harus dilakukan setiap kali selesai melakukan
pengamatan dan wawancara. Tidak boleh lalai, sebab ingatan seseorang terbatas dan karenya kemungkinan akan tercampur dengan informasi lain.
Menurut Bogdan dan Biklen (1982) catatan lapangan adalah catatan tertulis
mengenai apa yang dilihat, didengar, dialami dan dipikirkan dalam rangka
pengumpulan data serta refleksi data. Dengan demikian catatan lapangan terdiri
atas dua bagian penting, yakni bagian deskriptif (catatan mengenai data yang diperoleh
di lapangan) dan bagian reflektif (catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai
apa yang ada pada bagian deskriptif.
Catatan lapangan dapat
dibagi ke dalam tiga jenis, yakni: (1) catatan pengamatan dan wawancara; (2)
catatan teori; (3) catatan metodologi. Pembuatan catatan lapangan harus berisi
judul informasi yang dijaring dan waktu (jam, tanggal dan tempat pelaksanaan
kegiatan pengamatan dan wawancara serta penyusunan catatan lapangan) serta
diberi nomor urut sebagai bagian dari keseluruhan perangkat catatan lapangan. Sebagai contoh catatan
lapangan hasil pengamatan:
Posyandu
Melati Catatan Lapangan No. 1
RT
II, Kec. Pengamatan Tgl 2-6-2002
Kabupaten
Barru Jam 8.00 – 10.30
Disusun
Jam 20.15
PENIMBANGAN BALITA
Hari
Selasa, sekitar pukul 06.30 terdengar pengumuman dari menara mesjid bahwa
hari ini ada kegiatan penimbangan Balita di Posyandu, dan ibu diharapkan
untuk membawa anaknya ke Posyandu.
Sekitar
pukul 08.00, setelah bertanya pada beberapa orang perihal lokasi Posyandu,
saya tiba di sebuh rumah panggung, dimana dikolong rumah itulah Posyandu
Melati berlokasi. Rumah itu berukuran agak besar dan kolong rumahnya terasa
agak lapang dan bersih. Hanya saja di kolong rumah itu tidak tersedia papan
nama Posyandu, poster dan tanda-tanda lainnya yang menunjukkan bahwa di
tempat tersebutlah kegiatan Posyandu Melati selama ini dilaksanakan. Setengah
jam kemudian, ibu pemilik rumah yang berusia sekitar 35 tahun yang juga
seorang kader turun dari rumah membawa alat timbangan, dan tidak lama setelah
itu datang 3 orang kader lainnya yang berusia sekitar 20-an tahun dan
kemudian datang 2 orang perempuan dari Puskemas (perawat dan tenaga gizi).
Sekitar pukul 09.00, datang seorang Bapak dengan mengendarai sepeda bersama
dengan anaknya yang berusia 26 bulan. Anak itu kemudian diperiksa catatan
status gizinya oleh tenaga gizi yang dari Puskesmas dan setelah itu ditimbang
oleh kader dan hasilnya dicatat kembali oleh tenaga gizi.
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
Tanggapan
Pengamat
Hanya
seorang Bapak saja yang mengantar anaknya ke Posyandu, mengapa bapak-bapak
lainnya tidak ikut mengantar anaknya ke Posyandu, dan ada apa dengan bapak
itu sehingga ia yang mengantar anaknya ke Posyadu?
Peran
yang dijalankan oleh kader tidak lebih dari sekadar menimbang Bayi-
|
3.6 Validasi data Data yang
telah dikumpulkan wajib diusahakan kemantapan dan kesahihannya. Artinya setiap
peneliti harus menentukan suatu cara guna meningkatkan validitas dan yang diperolehnya,
demi kemantapan kesimpulan dan tafsir makna penelitiannya. Dalam penelitian
kualitatif terdapat tiga bentuk validasi data, yakni trianggulasi, review
informan, dan member chek.
3.6.1 Trianggulasi
Trianggulasi merupakan cara yang paling
umum digunakan dalam memvalidasi data pada penelitian kualitatif (Patton, 1984)
menyatakan bahwa ada 4 macam triangguilasi:
1. Trianggulasi data
Penelitian dengan menggunakan sumber
data yang berbeda untuk mengumpulkan data yang sejenis atau sama. Sebagai contoh,
data tentang kegiatan posyandu yang diperoleh melalui wawancara dengan kader
dapat dibandingcocokkan dengan data yang diperoleh dari masyarakat yang menjadi
pengguna Posyandu
2. Trianggulasi Peneliti
Data sejenis yang dikumpulkan oleh
beberapa orang peneliti. Cara praktis yang dapat dilakukan adalah diskusi
antarpeneliti untuk membahas suatu data atau fenomena yang ada dalam kelompok
sasaran program. Cara ini akan meningkatkan validitas data yang diperoleh
sekaligus untuk memperkaya analisis.
3. Trianggulasi Metode
Trianggulasi metode merupakan
pengembangan data yang sejenis dengan menggunakan metode-metode yang berbeda.
Sebagai contoh, data tentang pendapat masyarakat mengenai program yang
dilaksanakan, dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan FGD.
4. Trianggulasi Teori
Pembahasan masalah dengan menggunakan
perspektif teori tisyang berbeda. Misalnya, masalah dalam masyarakat dipandang
dari perspektif sosiologis, psikologis dan antropologis.
3.6.2 Review Informan
Laporan penelitian di review oleh
informan (khususnya informan kunci) untuk mengetahui apakah data yang telah
dikumpul atau ditulis merupakan sesuatu yang dapat mereka setujui atau tidak.
Dalam kaitan itu, maka antara pengumpul atau penulis data dengan
informan perlu berdiskusi agar tercapai saling pengertian dan kesepakatan di
antara mereka.
3.6.3 Member Chek
Laporan penelitian
diperiksa oleh kelompok peneliti yang lain untuk mendapatkan pengertian yang
tepat atau menemukan kekurangan-kekurangan untuk diperbaiki.
Robert K. Yin (1987)
mengemukakan bahwa pokok-pokok pengumpulan data yang harus selalu diingat oleh
peneliti, selain trianggulasi adalah dengan menggunakan sumber data ganda
dengan melalui:
• Penyusunan Data Base
Yang merupakan bukti
data yang telah dikumpulkan dalam segala bentuknya: deskripsi, skema, matriks,
rekaman dan lain-lain guna memudahkan review serta penelusuran kembali proses
penelitian pada waktu diperlukan.
• Penyusunan Mata
Rantai berkaitan semua bukti penelitian
Dilakukan untuk
meningkatkan realibilitas informasi penelitian. Prinsip ini didasarkan atas
pemikiran yang sama seperti dalam kriminologi.
3.7 Analisis Data
Proses analisis dalam penelitian kualitatif sering merupakan
bagian yang paling sulit bagi peneliti. Sebagian peneliti karena kurang
memahami prosesnya, kemudian melakukan analisis yang sangat sederhana.
Akibatnya kesimpulan penelitiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
mantap. Sebagian peneliti merasa kebingungan tidak mengetahui apa yang akan
dilakukan setelah proses pengumpulan data berakhir, dan menghadapi kenyataan
tumpukan data tertulis yang demikian banyak. Hal ini sangat mungkin disebabkan
karena kebanyakan literatur kualitatif di masa lampau memang kurang menjelaskan
proses analisis data secara lebih rinci. Riset Ethnografi yang merupakan bentuk
penelitian kualitatif tertua, tidak menjelaskan proses analisisnya yang
kebanyakan dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan proses pengumpulan data.
Dewasa ini, literatur penelitian kualitatif seudah banyak
yang mencoba menjelaskan proses analisis data secara lebih rinci, walau masih
beragam sesuai dengan sifat keterbukaan dan kelenturan pendekatan ini. Data
berupa kalimat yang dikumpulkan lewat observasi dan wawancara, dokumen dan
lain-lainnya yang sudah tersusun teratur, tetap merupakan data yang besar
jumlahnya sebelum siap digunakan dalam analisis. Apa yang harus dilakukan oleh
peneliti dengan data kalimat yang banyak tersebut?
Proses analisis perlu dilakukan pada waktu bersamaan dengan
proses pengumpulan data, karena biasanya peneliti akan banyak menghadapi
kesulitan bila menunggu sesudah data terkumpul seluruhnya. Demikian halnya
dengan cara tradisional, karena peneliti kualitatif khususnya etnografis harus
dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama. Menunda kegiatan analisis sampai
pengumpulan data selesai, sering dipandang sebagai suatu kesalahan serius.
Model yang paling baik adalah analisis mengalir. Ketiga komponen berjalan
secara beriringan dengan kegiatan pengumpulan data. Begiru peneliti menyusun fieldnote
lengkap, reduksi data segera dibuat dan diteruskan dengan sajian data. Dari
membaca sajian data yang berupa sajian data yang berupa cerita dengan berbagai
pendukungnya (matriks, tabel), peneliti dapat menyusun kesimpulan sementara.
Kesimpulan ini tentu saja bersifat sementara karena proses pengumpulan data
masih berlangsung. Degitu mendapatkan data baru dengan pemahaman baru,
kemungkinan besar kesimpulan sementara tersebut akan perlu diubah secara tepat.
Demikian seterusnya perjalanan pengumpulan data dan analisis berjalan
bersamaan, sampai seluruh data selesai dikumpulkan. Pekerjaan peneliti dalam
menyusun laporan selanjutnya sebagian besar hanya menyunting sajian data yang
telah ditulis, untuk dijadikan sajian data dalam laporan akhir. Dengan
melakukan cara analisis ini, peneliti juga tidak akan banyak memerlukan waktu
dalam menyusun laporannya.
Proses analisis yang dilakukan bersamaan dengan pengumpulan
data tersebut dapat menggunakan berbagai cara yang antara lain terdapat dua
alternatif analisis jalinan (flow model of anlysis) atau model analisis
interaktif (Miles & Haberman, 1992). Sedangkan menurut Spradley (1980),
analisis data – terutama data etnografi – dilakukan dalam bentuk “domain
analysis” yang hasilnya berupa deskripsi beragam definisi, selanjutnya peneliti
melakukan observasi terfokus dan mengajukan pertanyaan mengenai struktur, dan
dilanjutkan dengan “taxonomic analysis” yang hasilnya memperoleh kelengkapan
struktur dalam konteks, kemudian peneliti melakukan observasi terseleksi dengan
mengajukan pertanyaan mengenai perbedaan-perbedaan dan melakukan “componential
analysis, yang hasilnya berupa persamaan dan perbedaan. Dari hasil ketiga
analisis tersebut selanjutnya dilakukan analisis tema.
Proses analisis yang dilakukan bersamaan dengan proses
pengumpulan data secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut:
Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti membuat catatan
sangat singkat dengan kata-kata kunci (agar tidak mengganggu proses pengumpulan
data). Selanjutnya dari deskripsi singkat tersebut dikembangkan menjadi
deskripsi lengkap, dilanjutkan dengan refleksi (metode, teori, etis, analisis)
dengan beragam memo bila diperlukan. Deskripsi data dengan refleksinya tersebut
disebut fieldnote Setelah unit data lengkap, peneliti mulai bekerja
dengan tiga komponen analisis, yaitu: (1) reduksi data, yang isinya
rumusan singkat dari setiap jenis temuan fieldnote, dilanjutkan dengan komponen
(2) sajian data, yang berawal dari pokok-pokok temuan dalam reduksi
data, peneliti mulai menulis “cerita” atau karangan mengenai kondisi sesuai
dengan konteksnya yang diteliti, disertai dengan beragam matriks/tabel yang
dipandang perlu, dan akhirnya komponen (3) penarikan kesimpulan dan
verifikasinya, dilakukan berdasarkan uraian yang telah dibuat dalam sajian
data. Dari hasil ini peneliti selanjutnya bisa meneruskan penelitiannya dan
melakukan pemantapan dengan verifikasi sampai dengan proses pengumpulan data,
berarti sajian data sudah lengkap ditulis. Dari sajian data ini laporan
dikembangkan, dengan menambah dan menyunting karangan menjadi lebih lengkap dan
menarik dan bila dimungkinkan juga menggunakan bahasa metaforis, sehingga
maknanya menjadi lebih mantap.
3.8 Menyusun Kesimpulan Penelitian
Makna merupakan hal yang sangat penting yang harus ditemukan
dalam penelitian kualitatif. Setiap peneliti berusaha menemukan makna dari data
yang telah dikumpulkannya dengan teliti. Bagaimana cara menarik kesimpulan atau
makna peristiwa yang sedang ditelitinya, seorang peneliti perlu bekerja keras.
Miles & Huberman (1984) menyarankan suatu taktik yang terdiri dari duabelas
pokok kegiatan:
1. Perhitungan. Sangat
berkaitan dengan jumlah atau frekuensi. Angka atau jumlah sering diabaikan
dalam penelitian kualitatif, karena lebih diorietasikan pada kualitas atau
makna dari pada sekadar jumlah. Namun beberapa kali suatu peristiwa terjadi
dapat merupakan suatu awal yang baik bagi penarikan kesimpulan yang mengarah
pada makna.
2. Pencatatan pola
atau tema: Dalam bekerja dengan sajian data yang kurang tersusun baik, peneliti
sering menemukan pola atau tema yang berulang, yang artinya mungkin dapat
dikelompokkan ke dalam satu tema keseluruhan yang terkumpul dari data yang
terpisah-pisah, sehingga menjadi suatu yang dapat dimengerti kerangkanya.
Dikaitkan dengan pemberian kode atau tema, kemungkinan akan dapat dikelompokkan
peristiwa-peristiwa dalam kesatuan tema tertentu yang akan sangat membantu
pekerjaan analisis selanjutnya.
3. Pencarian hal-hal
yang masuk akal: Kegaiatan semacam ini sebaiknya dilakukan secara cepat
didasari kekuatan intuitif. Peneliti dalam melihat data sering merasakan
sesuatu yang masuk akal mengenai hubungan data dengan maknanya, namun tidak
dapat menjelaskan secara jelas dan logis. Merasakan hal yang masuk akal ini
merupakan satu kesan pertama yang sering menjadi dasar bagi kesimpulan analisis
pada tahapnya yang paling awal.
4. Pengelompokan: Data
yang terkumpul, yang semula merupakan data yang terpisah, dapat dikelompokkan
ke dalam kelompok kelas atau kategori. Carilah bagian data yang mirip atau sama
dengan yang lain. Mana yang dapat disatukan ke dalam satu
kelompok dan mana yang tidak? Pengelompokan ini merupakan suatu taktik yang
dapat dipakai pada berbagai tingkat data kualitatif; peristiwa atau tingkah
laku pada perorangan pelakunya, pada proses, tempat dan sebagainya. Tetapi
perlu diingat bahwa, kelompok-kelompok sebagai hasil dari taktik ini jangan
terlalu dianggap pasti dan sangat mungkin memerlukan pengujian selanjutnya.
5. Pembuatan Metafora:
Sebaiknya peneliti kualitatif tidak hanya mampu menulis secara metaforis,
tetapi juga berpikir metaforis. Berbagai pernyataan peneliti tidak hanya yang
nyata dan sekadar menceritakan data, tetapi dapat disajikan dalam bentuk yang
lebih sugestif. Bentuk metafora diperlukan karena dirasakan lebih kaya dan
lebih lengkap maknanya. Metafora juga merupakan suatu jalan dari fakta empirik
menuju ke signifikansi fakta secara konseptual.
6. Pemilahan variabel:
pemilihan ini dapat dilakukan pada banyak bagian data selama analisis. Sering
terjadi bahwa perbedaan lebih penting dari pada penyatuan, agar berbagai bagian
arau sub variabel dapat terlihat dengan jelas. Pemilihan ini sangat berguna
bila skema pembuatan kode sedang dikembangkan, juga dalam perencanaan berbagai
format matriks. Hal ini dilakukan terutama pada tahap awal untuk menghindari
hal-hal yang bersifat monolit dan dapat mengaburkan data.
7. Peliputan dari yang
khusus ke yang umum. Peliputan kekhususan-kekhususan ke dalam kelompok yang
lebih umum merupakan suatu aktivitas konseptual dan teoritis. Peneliti
melakukanya dengan berpikir ulang-alik di antara data tingkat awal dan
kategori-kategori yang lebih umum yang melibatkan dan mengembangkan pengulangan
kategori sampai pada tingkat yang dianggap cukup memuaskan. Pertanyaan yang
perlu dihadapi adalah Apakah hal yang khusus ini merupakan cuplikan dari suatu
yang lebih besar? Apakah ia merupakan suatu bentuk dari suatu yang lebih umum?
8. Pembuatan faktor:
hal ini berasal dari analisis faktor yang merupakan suatu teknik statistik
untuk menggambarkan sejumlah besar variabel ke dalam jumlah yang lebih kecil
yang tak terukur, yang biasanya merupakan variabel hipotesis. Variabel tingkat
kedua ini (faktor) mungkin secara luas tak berhubungan, atau mungkin terdapat
beberapa kesamaan, atau bahkan saling tumpang tindih antara satu dengan
lainnya. Cara ini meliputi dua hal: (1) untuk mengurangi besarnya data, dan (2)
untuk mendapatkan pola darinya.
9. Pencatatan hubungan
antar variabel: dalam pembahasan kerangka kerja konseptual, pemikiran hubungan
antar variabel dapat digambarkan secara sederhana dengan pikiran sebagai suatu
deretan kotak dan panah-panah guna menunjukkan hubungan berbagai variabel
tersebut. Begitu penganalisis mendapatkan alasan yang jelas tentang
variabel-variabel yang berperan dalam suatu situasi, kemudian yang harus
diketahui adalah bagaimana hubungan antar mereka itu terjadi, atau bila
mungkin, hubungan dalam bentuk apa. Cara besar dalam analisis ini adalah
melibatkan usaha untuk menemukan macam hubungan yang terjadi antara berbagai
variabel. Peneliti di sini membuat pernyataan-pernyataan teoritis mengenai
hubungan antar konsep, bukan hanya menulis pernyataan deskriptif tentang orang.
10. Penemuan Variabel
Antara: sering terjadi pada waktu analisis dua variabel yang “seharusnya”
mempunyai hubungan tertentu berdasarkan harapan-harapan konseptual, tetapi
dalam kasus ternyata hubungannya Cuma samar-samar saja. Katakanlah misalnya,
pengaruh bariabel A pada variabel B tidak sangat berarti sebagaimana yang
dijarapkan. Dalam hal semacam ini sebaiknya peneliti mencoba untuk menemukan
kemungkinan adanya variabel antara (intervening variabel) yang mungkin
mempengaruhi hubungan antar variabel A dan B tersebut. Penemuan variabel antara
ini akan menjadi mudah bila ada beberapa contoh dari hubungan antar variabel
tersebut yang dapat dilihat dan dibandingkan.
11. Penyusunan
Jaringan Logis Dari Sejumlah Bukti: di depan telah dinayatakan berbagai hal
tentang pola, metafora, kelompok dan tema. Apa yang terjadi adalaha
mengabstraksi informasi bersama-sama dengan membentuk keseluruhan yang
sederhana, yang secara analitis lebih dari pada sekadar kumpulan
bagian-bagiannya. Berbeda dengan bentuk jaringan kerja kausal, pendekatan ini
lebih bersifat taktis dengan suatu orientasi khusus.
12. Penyusunan
Hubungan Konseptual dan Teoritis: bila kita mencoba menentukan makna perilaku
seseorang, maka pikiran kita akan melibatkan aktivitas penghubungan antara
fakta abstrak yang satu dengan yang lainnya. Kemudian kita mengelompokkannya
dengan suatu alasan yang komprehensif, menjadi pola yang lebih besar. Dari
taktik awal kita bergerak secara progresif dari data empiris ke suatu pandangan
yang lebih konseptual. Kita tidak lagi hanya memikirkan variabel yang jelas,
tetapi juga yang tak teramati dan menghubungkannya secara berurutan dalam
kaitan inferensial. Langkah selanjutnya adalah bergerak dari metafora dan
hubungan antar variabel arah konstruksi-konstruksi, dan kemudian kepada
teori-teori. Di sini peneliti perlu mengikat penemuan studinya dengan proposisi
antar kasus yang dapat menjawab pertanyaan tentang “mengapa” dan “bagaimana”
mengenai fenomena yang diteliti.
Kepustakaan
Bogdan, R. C. &
Biklen, S.K. (1982). Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory
an Methods. Boston,
Mass: Allyn and Bacon, Inc.
Baogdan , R. C. & Tylor, S. J. (1975). Introduction to
Qualitative Research Methods. New York: John Willey & Sons.
Bungin, Burhan (ed.) (2001) Metodologi Penelitian
Kualitatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Lincoln, Y. S. &
Guba, E.G (1985) Naturalistic Inquir. Baverly Hills, CA: Sage Publications.
Miles, M. B. & Huberman, A.M. (1992( Analisis Data
Kualitatif (Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI-Press.
Moleong, L.J. (1997) Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Spradley, J.P (1979). The Etnographic Interview. New
York: Hold, Rinehart & Winston.
Spradley, J.P (1980). Participant
Observation. New
York: Hold, Rinehart & Winston.
Yin, R.K. (1987). Case Study Research: Design and Methods.
Baverley Hills, CA. Sage Publications.
[1] Disajikan pada Pelatihan Penelitian Bagi Tenaga Gizi Pendamping di
Desa Miskin/Terpencil di Sulawesi Selatan yang berlangsung dari tanggal 19 s/d
25 Juni 2002 di Pusat Studi Pangan, Gizi dan Kesehatan Universitas
Hasanuddin.
[2] Dosen pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Hasanuddin