Bermimpi Saja Tak Sanggup - Sebuah Etnografi

Bermimpi Saja Tak Sanggup - Sebuah Etnografi
by: dewi widy
cp: gendenx_02@yahoo.co.id

Memasuki sebuah dusun dengan banyak anak kecil di dalamnya. Berlarian ke sana kemari. Mereka tertawa riang seolah tak ada beban dibenaknya. Senyum anak kecil, untaian permata yang entah kenapa terlihat indah. Tangisan sebagai petunjuk bahwa mereka menginginkan sesuatu. Tapi rupanya di sini, tak sesederhana itu. Dibalik tawa mereka mengandung banyak artian. “hompimpa alaiyum gambreng!!!�. Mereka memulai permainan dengan tawa riang tentunya. Permainan yang dimainkan kali ini adalah Pol-polan (petak umpet). Terlihat bahwa ada salah satu temannya yang bermain curang sehingga menjatuhkan anak yang lainnya. Rupanya anak yang dijatuhkan tadi bukannya menangis tapi justru tertawa yang akhirnya mengundang tawa teman yang lain. Ha..ha..ha.. ini sebuah permainan teman, bukan kecurangan ataupun kejahatan. Mungkin itu yang ada dibenak mereka, tentunya dengan bahasa mereka. Kulihat mereka dari kejauhan. Lantas aku mendekat. Tetapi rupanya mereka justru kabur berlarian ke sana ke mari. Aku bersembunyi mereka lantas keluar dan bermain lagi. Kemudian aku mendekat lagi dan mereka bersembunyi lagi. Akupun masuk saja kedalam rumah. Kuintip mereka dari balik jendela. Mereka seperti mencariku dan rupanya ada satu dua anak yang mengintip dari balik jendela. Akupun keluar lantas mereka berlarian sambil berteriak. Seperti melihat hantu saja pikirku. Akupun duduk terdiam di depan rumah. Kupanggil salah seorang anak yang memang dari tadi aku perhatikan, dia bak ketua diantara anak yang lainnya. “hei, siapa namamu?�. Dia tampak bingung dan berhati-hati mendekatiku. Tentu saja aku asing untuknya. Tak pernah dia melihatku sebelumnya. “namaku Kholik..�. dia ini anak yang terlihat berbeda bila diantara temannya. Lihat saja rambutnya, rambutnya di jegrakkan dan gaya berjalannya bak penguasa, petantang petenteng. “kelas berapa kamu?� rupanya dia kelas 3 SD. “dapat rengking ga sekolahnya?� dia mengeluarkan jari telunjuknya. Yup! Dia mendapat peringkat satu. Lantas seorang temannya, Alimin mendekat padaku dan bercerita sambil terbata-bata. “mbak, dia itu sebenarnya kelas 4 SD tapi pernah tidak naik kelas. Jadi ya dapat rengking satu. Ketua kelas lagi�. Cepat-cepat Kholik membungkam mulut Alimin agar tidak terus bercerita. Teman-temannya lantas berteriak bilang “iya mbak!!!!!�. Kholik malu sepertinya karena pernah tidak naik kelas. Mukanyapun memerah. Lantas aku minta mereka duduk di dekatku. Aku menasehati kepada mereka bak seorang guru bahwa tidak naik kelas bukanlah aib tetapi keberhasilan yang tertunda. Aku memberi contoh beberapa orang temanku yang tidak lulus ataupun tidak naik kelas akhirnya berhasil menjadi orang sukses. Sepertinya mereka semakin antusias mendengar cerita-ceritaku. “nanti kalau kalian sudah besar ingin jadi apa?� Tiba-tiba suasana menjadi hening. Tak ada jawaban dari mereka. Lama sekali. Kuulangi lagi pertanyaanku, “cita-cita kalian apa?� Mereka masih terdiam. “tidak ada yang ingin jadi dokter?guru?perawat?pilot?presiden?� lagi-lagi mereka diam. Kemudian tak lama mereka menjawab satu persatu, ingin menjadi petani, ingin menjadi peternak, ingin cari rumput, ingin jadi guru, ingin jadi polisi hutan, ingin jadi bidan... lantas suasana menjadi ramai. Sesederhana itukah mimpi mereka? Mungkin karena kondisi alam dan pola kehidupan mereka yang tiap hari ke ladang, bertanam, mencari rumput, berdagang, dan beternak yang mempengaruhi cara pandang mereka. Jikalau bercita-cita menjadi guru, bidan ataupun polisi hutan karena itu yang mereka lihat sehari-hari. Aku bertanya lagi kepada mereka. “kalau sudah lulus SD kalian mau ngapain?�. Suasana menjadi hening lagi. Tak ada jawaban. Mereka memasang muka lesu seperti tak ada harapan. “kok diam?�. Anak-anak mencoba memberanikan diri untuk menjawab, “ga ada uangnya mbak...�. aku mengerutkan dahi. “bagaimana bisa tidak ada uang? Yang namanya orang tua pati akan mengusahakan untuk anaknya�. Mereka sepertinya sedikit marah mendengar ucapanku itu. Ya, aku berpikir bahwa ini di tempatku. Mungkin ini kesalahanku. “memang ga ada uang mbak! Buat makan saja susah!� Sekarang justru aku yang terdiam. Kuperhatikan mereka satu persatu. Bajunya robek, kotor, bukan karena mereka anak kecil lantas belum ganti baju. Kucoba membandingkan dengan keadaan di tempat tinggalku. Baju sobek tidak pernah digunakan lagi, atau paling tidak dijahit. Hidung mereka ingusan tebal berwarna hijau kental. Mungkin benar jika uang merupakan alasan kuat kenapa anak-anak berhenti sekolah. Tetapi ada pula alasan lain ketika kulihat orang tua mereka mampu untuk menyekolahkan mereka. Jalan di area pegunungan yang berkelok-kelok, naik turun dan berjalan kaki. Ratusan meter mereka lalui setiap hari untuk mendapatkan pendidikan. Mungkin jika aku di sini, aku akan malas ke sekolah jika mengingat jarak yang akan aku tempuh. Tapi tidak dengan mereka, mereka begitu bersemangat untuk bersekolah meskipun terkadang mereka sedikit malas (beralasan sakit) untuk sekolah. Tak hanya itu. Ketika di rumah mereka diminta menjaga adik-adiknya ketika orang tua ke ladang. Mereka juga harus membantu merumput dan memasak di dapur. Bukan, ini bukan kekerasan. Tetapi tuntutan untuk mereka bisa bertahan hdup. Miris sekali memang. Tak heran jika selepas SD mereka di rumah sambil menunggu usia dewasa untuk menikah. Dalam diamku kemudian seorang anak bernama Wawan mengagetkanku. Memintaku untuk mengenalkan diri. Aku Dewi dan seorang mahasiswa. Lantas mereka bertanya tentang apa itu mahasiswa, sekolahnya bagaimana, urutannya seperti apa, setelah mahasiswa menjadi apa, kerjanya apa, dan lain sebagainya. Tak hanya itu. Mereka terus menanyaiku dari mana aku berasal dan sebagainya. Mereka sangat ingin tahu. Kujawab Jogja. “Dimana itu jogja? Jauh tidak dari sini?...dst�. melihat hari sudah semakin sore, aku bilang nanti akan kujelaskan lagi lain waktu di mana Jogja, Sumatera, dan lain sebagainya. Lantas aku bertanya lagi. “bagaimana, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?�. Dengan optimis mereka menjawab “guru, ustad, tentara, polisi, kayak mbaknya...�. kata terakhir yang membuatku sedikit tersenyum. Paling tidak mereka ada keinginan untuk melanjutkan sekolah dan tidak takut untuk bermimpi. Aku rasa mimpi itu nyawa dari sebuah jiwa. Jika tidak bermimpi kita tidak berusaha untuk mengubah kehidupan kita. Aku memang tidak bisa berbuat banyak di sini. Aku tidak membangun bangunan fisik, aku hanya berbekal sedikit sekali keahlian jika dibandingkan mereka. Justru di sini aku yang belajar banyak dari mereka. Belajar tentang kehidupan yang sebenarnya. Dari mereka aku belajar bagaimana memanajemen kehidupan, menghargai alam, bersyukur kepada Tuhan dan salah satunya mengenal anak-anak yang selalu menjadi inspirasiku, serta masih banyak pelajaran yang aku dapatkan. Satu lagi, sebuah keluarga yang selalu memberi kehangatan. Keluarga baru. Keluarga besar. Di sini aku hanya membawa title sebagai seorang mahasiswa. Bukan aku membanggkan diriku sendiri. Tetapi paling tidak, kedatangan orang luar membuat mereka mau mengenal tentang di luar sana (dibalik pegunungan ini tentunya). Kedatangan “mahasiswa� paling tidak membuat para orang tua berpikir sejenak untuk masa depan anaknya. Meski mereka tahu untuk menjadi “mahasiswa� itu tidak murah, tetapi aku dan teman-temanku di sini menjelaskan bagaimana itu mahasiswa. Sehingga memunculkan niat anak-anak untuk terus sekolah setinggi-tingginya. Semoga. *kuhaturkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada keluarga besar nun jauh di sana...aku selalu merindukan kalian... -dewi-

Follower

 
Great HTML Templates from easytemplates.com | Edited by Soe86