Komoditas Masyarakat Desa Wele’e Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo

Diposkan Oleh: Dwi Surti Junida

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sebelum kalian membaca hasil penelitian ini, izinkanlah kami sedikit berceloteh.
Tulisan ini sebenarnya belum layak dikatakan sebagai laporan hasil penelitian karena dari sistematika penulisannya belum sesuai dengan sistematika laporan hasil penelitian yang baik dan benar. Selain itu, kevaliditasannya belum dapat dibuktikan, berhubung penelitian ini berlangsung begitu cepat yakni selama 4 hari 5 malam (kualitatif).
Sebagai seorang peneliti pemula, kami terdiri dari :
Fadly Prijan, Dwi Surti Junida, Nur Aliah Ridwan, Sardani dan Ilham Amir Arsyad
(Mahasiswa angkatan 2008 Jurusan Antropologi Sosial Fisip Unhas)
Belumlah sanggup menghasilkan penelitian sebaik yang lain. Penelitian di Desa Wele’e Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan ini hanya ditujukan sebagai latihan dasar penelitian kami. Bermodalkan sedikit recehan untuk transportasi (nginap dan makan di tanggung senior kami Muhammad Yusuf ’05) tidak sedikitpun membuat kami bermain-main (tidak serius) di sana. Kalau boleh kami menghimbau, sekalipun kami belum terkategori sebagai para antropog seperti yang lain tetapi tidaklah menjadi sebuah alasan buat kalian untuk tidak memperlajari tulisan ini. Harap kami tulisan ini dapat bermanfaat, tidak hanya menjadi sebuah refensi tetapi kalian mampu melanjutkannya di waktu yang lain.
Selamat membaca.  

Latar Belakang
Pada kajian Baseline Economic Survei (BLS) yang diselenggarakan di berbagai Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan salah satunya adalah Kecamatan Wajo (selain Makassar, Gowa, Jeneponto, Bulukumba, Sidrap, Pindrang, Tanah Toraja dan Luwu Utara), terdapat perubahan yang cukup mendasar dalam penetapan daftar skala prioritas yang semula menggunakan kriteria data produksi, pendapat instansi dan data primer responden UMKM pada suatu komoditi atau produk atau jenis usaha (KPJU) di suatu kecamatan, menjadi penetapan KPJU unggulan daerah di Kabupaten dengan menggunakan alat analisis Comparative Performance Index (CPI) dan Analityc Hierarchy Process (AHP) mengalami peningkatan.
Hal ini merupakan salah satu upaya Bank Indonesia yang sejak lama telah mengembangkan penelitian BLS ini, berupaya mengidentifikasi berbagai peluang investasi di daerah yang bermuara pada pemberian informasi potensi ekonomi suatu daerah. Dalam usaha dunia agraris bahan pangan merupakan komoditi unggul di Indonesia. Terdapat beberapa titik daerah penghasil komoditi yang unggul. Salah satunya terdapat di Desa Wele’e Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo.
Alasan itulah yang memutuskan kami untuk fokus membahas mengenai bagaimana komoditas masyarakat di Desa Wele’a  Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo. Yang bertujuan untuk menjelaskan mengenai apa-apa saja yang menjadi komoditas yang terdapat di sana.
Selain sebagai bagian dari disiplin ilmu di Jurusan kami, yakni jurusan antropologi sosial Fisip Unhas yang konsen terhadap penelitian. Kami berharap laporan ini tidak sekedar hanya sebagai bahan bacaan tetapi juga dapat bermanfaat bagi mahasiswa (i) jurusan lain sebagai calon peneliti selanjutnya.
 
Desa Wele’e Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo
Kota Sengkang adalah Ibukota Kabupaten Wajo, merupakan salah satu kota kecil yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan dan berada di antara 3039’–4016’ Lintang Selatan dan 119053’–120027’ Bujur Timur. Luas wilayah kota Sengkang secara keseluruhan adalah 38,27 km2 yang meliputi satu kecamatan yaitu Kecamatan Tempe atau terdiri dari 16 kelurahan. Kota Sengkang berbatasan dengan daerah-daerah:
Jumlah penduduk Kota Sengkang berdasarkan sensus penduduk tahun 2002 adalah sebesar 52.786 jiwa dengan tingkat kepadatan sebesar 1.415 jiwa/km dan dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,29% pertahun.
Belawa merupakan salah satu kecamatan di kota Sengkang Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kecamatan ini terdiri dari beberapa desa, yaitu Desa Wele'e, Sappa'e, Lonratodang, Macero, Malakke, Limporilau, Ongkoe, Tippulu, Tokadde, Lonrayase, Bola Aserae, paopance,Timoreng. Padi, jagung, kacang, ikan adalah penghasilan utama di Belawa.
Menurut Abdul Rahim Mendo (64 tahun) :
Belawa berasal dari sebuah pohon bergetah yang tidak diketahui. Pohon ini memiliki keunikan tersendiri bagi penduduk Belawa. Pohon itu sendiri disebut sebagai pohon Belawa. Walaupun pohon itu juga terdapat di daerah lain, seperti di Kalimantan, akan tetapi getah pohon yang ada di daerah Belawa jika mengenai kulit seseorang yang ada di daerah tersebut tidak akan mengalami penyakit kulit/gatal-gatal seperti yang dialami oleh orang yang beasal dari daerah lainnya. Diberilah daerah tersebut dengan nama “Belawa”.

(wawancara, 29 Januari 2011)

Desa Wele’e adalah salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Belawa, Desa Wele’e ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Desa Wele’e I dan Wele’e II.
Sesuai observasi (pengamatan) sekaligus mapping yang kami lakukan, di Desa Wele’e memiliki sumber pangan yang cukup melimpah. Selain padi, coklat (kakao) dan kelapa tumbuh disana.
Mentari akhirnya menampakkan diri, ia berkedip kearah ku disaat membuka jendela kamar dengan lebar. Mataku tertuju tepat di belakang rumah. Terlihat hamparan sawah begitu memikau hati, pantulan cahaya mentari menambah keindahan yang membisu. Hembusan angin pun menemaninya.
    (Observasi, 28 Januari 2011)

Sewaktu kami menelusuri desa, hamparan sawah pun juga terlihat di sana, seakan mengelilingi Desa Wele’e.
Pagi seakan menyambut kami dengan gumamnya, disaat berjalan kearah utara sekitar 30 meter hingga berhenti didepan Mesjid Babul Khair. Di sepanjang jalan sebelah kiri terlihat persawahan yang masih menghijau. Begitupun disaat kami memutar arah menuju keselatan sekitar 60 meter terlihat juga disebelah kanan desa ini.
(observasi, 28 Januari 2011)

Masyarakat Desa Wele’e menggantungkan kehidupannya pada pertanian padi sejak sekitar tahun 90-an. Sekalipun sebelumnya mereka menggantungkan penghidupan pada perkebunan coklat. Sebagaimana penuturan Ibu Mn :
Akhirnya orang-orang disini beralih ke pertanian padi lalu meninggalkan perkebunan coklat.
(wawancara, 29 Januari 2011)

Hal demikian tak jauh berbeda dengan penuturan pamannya muhammad yusuf  
Pada tahun 1980-an kelapa dan coklat pertama kali masuk.
(wawancara,29 Januari 2011)
Seperti proses pada umumnya, di Desa Wele’e pada proses penanaman padi hingga panen berlangsung selama sekitar tiga sampai empat bulan. Hal ini berdasarkan penuturan Ibu Darawaseng (40 tahun) :

Panen Padi di sini sekitar tiga sampai empat bulan, dari bulan satu hingga bulan tiga atau empat kedepan.
(wawancara, 30 Januari 2011)
Tenaga pekerja di Desa Wele’e ini tidaklah sama di beberapa daerah lain. Di sini para pekerjanya bukanlah berasal dari keluarga terdekat tetapi datang dari luar daerah Wajo. Upah atau gaji yang di berikan sekitar 700 ribu/hektar. Lanjut beliau :

Pekerja atau petaninya berasal dari luar daerah  seperti Barru, dan Bone. Upah atau gaji yang di berikan sekitar Rp 700 ribu/hektar. Perhektarnya dikerjakan sebanyak 5 hingga 10 orang. Mereka peroleh setiap harinya.
       (wawancara, 30 Januari 2011)
Pembagian tugas dari tiap masing-masing pekerja atau petani ini pun berbeda-beda. Lanjutnya :

Setiap pekerja menangani tugas yang berbeda-beda, dimulai dari penggarapan penanaman hingga pasca panen.
(wawancara, 30 Januari 2011)

Selain pertaniaan padi, kelapa juga banyak terdapat disana. Sebagaimana hasil observasi (pengamatan) kami sewaktu baru tiba di Desa Wele’e ini.
Tak terasa, sudah mulai menunjukkan pukul 04.43 pagi. Fajar bersiap memunculkan diri, lantunan nyanyian merdu dari balik dinding-dinding Mesjid saling bersautan seakan menandakan kewajiban harus segera di tunaikan. Pohon-pohon kelapa berdiri disepanjang pinggiran jalan, seakan berucap bahwa kami akan segera sampai.
  (Observasi, 28 Januari 2011)
Perkebunan coklat pun terdapat di desa ini. Terlihat banyak berderet disekitar rumah warga, ataupun disekitar persawahan. Sebagaimana penuturan Ibu Uti :
Selain padi disini juga terdapat perkebunan coklat.
(wawancara, 29 Januari 2011)
Bahkan sebenarnya pada mata pencaharian di Desa Wele’e ini, sekitar tahun 90-an masyarakat disana bertani coklat dengan harga yang sangat tinggi. Lanjut penuturan beliau :
Dulunya orang-orang di sini berkebun coklat karena harganya tinggi.
(wawancara, 29 Januari 2011)

Tetapi beberapa tahun kemudian masyarakat Desa Wele’e beralih dari perkebunan coklat ke pertanian sawah. Beliau melanjutkan :
Akhirnya orang-orang di sini beralih ke pertanian padi lalu meninggalkan perkebunan coklat.
(wawancara, 29 Januari 2011)

Perkebunan coklat tidak lagi menjadi komoditas unggul di desa ini. Apalagi setelah adanya irigasi yang dialirkan ke pertanian padi maka tanaman coklat tidaklah dapat tumbuh dengan baik. Menurut Ibu Mn :
Karena adanya irigasi yang di alirkan ke padi maka tanaman coklat disini tidak dapat tumbuh dengan baik.
(wawancara, 29 Januari 2011)

Tak jauh berbeda dengan kelapa. Pohon kelapa juga dianggap sebagai pemicu tidak suburnya perkebunan coklat. Hal ini berdasarkan penuturan Ibu Mn:
Pohon kelapa dianggap sebagai pemicu tidak suburnya coklat. Coklat dibiarkan tumbuh tanpa perawatan yang rutin, ketika berbuah masyarakat hanya menjualnya kepasar dan hasilnya dipakai untuk membeli bahan makanan dapur seperti, garam,gula, dll demi memenuhi kebutuhan hidup.
(wawancara, 29 Januari 2011)

Di Desa Wele’e pun terdapat usaha-usaha yang lain selain yang telah kami paparkan diatas.
Kicauwan burung menemani kami berjalan kala itu. Terlihat beberapa penjual dipinggiran jalan, sekitar 4 hingga 6 rumah yang menjual berbagai macam produk. Mulai dari bahan makanan, menjual parfum bahkan ada satu bengkel disana.
(Observasi, 28 Januari 2011)



 Referensi :
http : //www.wikipedia bahasa Indonesia.com/ ensiklopedia bebas/kecamatan-Belawa-provinsi-sulawesi selatan/


Follower

 
Great HTML Templates from easytemplates.com | Edited by Soe86