Strategi kaum waria dalam mempertahankan eksistensinya

Diposkan Oleh : Muhammad Syaiful
Email               : syaiful.muhammad@ymail.com

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepanjang sejarah berbagai masyarakat di Kepulauan Nusantara, konstruksi sosial gender senantiasa beraneka ragam, tidak melulu lelaki dan perempuan saja. Individu yang terlahir sebagai lelaki biologis tidak semuanya tunduk pada konstruksi gender lelaki secara sosial-budaya. Mereka memilih atau mengkonstruksi sendiri perilaku dan identitas gendernya, dan masyarakat pun dengan berbagai derajat penerimaan mengenali mereka sebagai banci (Melayu), bandhu (Madura), calabai (Bugis), kawe-kawe (Sulawesi umumnya), wandu (Jawa) dan istilah-istilah lainnya yang belum semuanya dikenali bahkan oleh para peneliti gender dan seksualitas pun, namun memang ada dan dikenali oleh masyarakat setempat. Belum lagi adanya orang-orang yang interseks, yang dalam derajat tertentu memiliki (sebagian) ciri-ciri kelamin biologis lelaki dan/atau perempuan dalam berbagai kombinasi, yang acapkali disebut juga dengan istilah-istilah tadi (Oetomo, 2006). Seperti halnya di dalam kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan (secara umum) dan Makassar (secara khusus), ada orang-orang yang berkonstruksi gender yang tidak sesuai dengan kerangka hegemonik yang ditentukan oleh negara, agama, budaya, bahkan juga ilmu pengetahuan, yang hanya mengakui dua gender, yakni laki-laki dan perempuan. Konstruksi gender yang lain tersebut dapat kita kenali sebagai tomboy dan waria misalnya. Belum lagi identitas seksual lain yang tidak sempat kita kenali dan pada kenyataannya mereka ada serta berusaha bertahan hingga sampai sekarang ini. Pendek kata, dapatlah dikatakan bahwa konstruksi gender dan seksualitas di masyarakat-masyarakat Nusantara maupun masyarakat Indonesia masakini adalah teramat kompleks dan beraneka ragam. Kaum ilmuwan, aktivis sosial, maupun anggota masyarakat sendiri, seringkali masih tidak tahu atau sengaja membisukan (karena berbagai alasan: moralitas, rasa risih, kemalasan berpikir) kenyataan yang rumit dan asyik ini (Oetomo, 2006). Mereka yang berpretensi menekuni bidang kajian gender pun cenderung hanya mewacanakan isyu-isyu perempuan dengan hampir secara kategoris melupakan kaum-kaum lain seperti waria dan gay misalnya sehingga pada akhirnya kajian gender di Indonesia menurut penulis hanyalah merupakan istilah lain untuk merujuk pada “kajian wanita� saja. Padahal kita tahu kajian gender tidak demikian dan teramat sangat luas cakupannya. Salah satu konstruksi gender yang cenderung diabaikan dalam masyarakat kita adalah terutama kaum waria. Keberadaan mereka di tengah masyarakat kita kini bukan merupakan hal yang asing lagi. Meski tidak termasuk ke dalam salah satu identitas gender normatif (laki-laki dan perempuan), namun hampir setiap orang pasti mengenal waria (wanita - pria). Secara sederhana, waria diketahui sebagai individu yang memiliki jenis kelamin laki-laki tetapi berperilaku dan berpakaian seperti layaknya seorang perempuan. Waria merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat, namun demikian jumlah waria semakin hari semakin bertambah, terutama di kota-kota besar seperti kota Makassar. Bagi penulis, waria (dalam banyak hal) merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji karena dalam kenyataannya, tidak semua orang dapat mengetahui secara pasti dan memahami mengapa dan bagaimana perilaku waria dapat terbentuk. Konstruksi tentang waria yang selama ini berkembang dimasyarakat dianggap sangat menjijikkan. Waria tidak saja dianggap sebagai identitas gender yang otonom, lepas dari konstruksi laki-laki dan perempuan, tetapi lebih dari itu, waria dikonstruksi sebagai bentuk lain yang harus dibunuh. Salah satu dasar waria harus dilarang adalah bahwa dalam perspektif banyak agama (terutama Islam) keberadaan mereka tidak diakui. Pemahaman atas teks agama selama ini tentang waria memang sangat tidak mengakomodasi keberadaannya. Waria oleh agama-agama dianggap sebagai kelainan seksual sekaligus kelainan sosial (penyakit masyarakat) yang harus diberantas. Tafsir tunggal berbagai agama dalam kehidupan bentuk yang heteroseksual jelaslah tidak menyediakan tempat bagi munculnya gerakan homoseksual yang menjadi kebiasaan kaum waria selama ini. Buntutnya, keberadaan waria dianggap sebagai sosok yang menyalahi kodrat, sehingga pada akhirnya berbuah penolakan. Tidak hanya itu, waria juga dianggap sebagai perusak moral bangsa, sehingga harus dijauhkan dari kehidupan masyarakat umumnya dan tentu saja yang masuk dalam hegemoni wacana seks tunggal. Atas dasar ini pula, aparatur ideologi/represi negara yang dalam bentuknya seperti Polisi, Satpol PP, atau Dinas Sosial kerapkali melakukan operasi penggerebekan terhadap pangkalan waria saat mereka beroperasi. Bahkan dalam banyak kasus, seperti belakangan ini yang terjadi, atas klaim penertiban sosial, banyak waria yang mengalami tindak kekerasan oleh aparat negara saat terjadi operasi. Kadang-kadang Satpol PP melakukan sweeping dengan cara yang kurang santun dan menjadi santapan empuk bagi media massa untuk menayangkan peristiwa tersebut dengan cara yang kurang mengindahkan etika penyiaran. Di layar kaca kita saksikan para waria lari terbirit-birit dikejar hingga masuk ke gorong-gorong dan tempat sampah untuk bersembunyi. Peristiwa tersebut akhirnya di konsumsi oleh jutaan masyarakat penikmat tontonan layar televisi dan menghegemoni masyarakat hingga terbentuklah citra sesuai dengan pilihan ketidaksadarannya bahwa waria adalah komunitas yang selalu identik dengan hal-hal negatif. Yang lebih disayangkan lagi, beban paling berat di dalam diri seorang waria adalah beban psikologis yaitu perjuangan mereka menghadapi gejolak kewariaannya terhadap kenyataan di lingkungan keluarganya. Perlakuan keras dan kejam oleh keluarga karena malu mempunyai anak seorang waria kerapkali mereka hadapi. Mereka dipukuli, ditendang, diinjak-injak bahkan diancam mau ditembak oleh keluarga sendiri. Meskipun tidak semua waria mengalami hal seperti itu, tetapi kebanyakan keluarga tidak mau memahami keadaan mereka sebagai waria (Oetomo, 2003:290). Perlakuan-perlakuan buruk tersebut serta ketidakbebasan waria mengekspresikan jiwa kewanitaannya memicu mereka untuk meninggalkan keluarga dan lebih memilih untuk berkumpul bersama dengan waria lainnya. Memang pada kenyataannya, mayoritas dari sekian waria sesuai realita yang ada menjadi pekerja seks untuk memenuhi kebutuhan materil maupun biologis. Namun hal tersebut menjadikan pilihan satu-satunya untuk mereka bisa bertahan demi kelangsungan hidup kesehariannya. Hal ini karena belum sepenuhnya waria dapat diterima dalam kehidupan sosial, oleh karena itu menurut Sara (2007:26) menyebabkan kehidupan waria menjadi lebih terbatas dalam peran dimasyarakat, yang pada akhirnya menyebabkan banyak waria yang mengantungkan hidupnya dengan menjadi pekerja seks (melakukan jasa seksual), ngamen, atau yang berkutat di bidang kecantikan (salon) namun hanya beberapa orang saja yang memang beruntung bisa bekerja di salon atau punya salon sendiri. Fenomena waria menjadi penjaja seks dijalanan dapat kita jumpai ketika pada tengah malam melintasi jalan Jend. Urip Sumoharjo, tepatnya depan Taman Makam Pahlawan, atau tempat-tempat mangkal lainnya dijalan kota Makassar. Citra dunia pelacuran waria kemudian membuahkan pemikiran negatif pada masyarakat, yang akhirnya berujung pada diskonfirmitas akan keberadaannya dalam beberapa faktor, seperti halnya penyempitan kesempatan kerja, gunjingan-gunjingan akan perilaku mereka, serta tuduhan-tuduhan bahwa kaum waria adalah pembawa penyakit menular seksual (HIV/AIDS). Situasi ini menjadi terlihat seperti lingkaran setan yang sulit untuk diputuskan kecuali stakeholder kebijakan benar-benar serius memperbaikinya. Hal ini pula membuat akan sangat sulit bagi masyarakat untuk kemudian dapat memberikan tempat bagi kehidupan seorang waria dengan berbagai citra atau kesan-kesan negatif tadi kecuali mereka melakukan serangkaian upaya ataupun strategi-strategi yang khas guna dapat mengambil tempat pada ruang sosial di dalam kehidupan bermasyarakat. Waria di Indonesia, khususnya di Makassar adalah bagian dari komunitas sub alternatif yang tidak bersuara bebas dalam merepresentasikan kepentingan-kepentingannya, termasuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya dalam kebijakan politik negara. Seiring dengan suasana demokrasi yang berkembang belakangan ini di Indonesia, beberapa kelompok organisasi yang berlatarbelakang wariapun muncul. Organisasi ke-waria-an ini jelaslah hendak memperjuangkan kepentingan-kepentingan kolektif mereka. Sebut saja Gaya Nusantara (di Surabaya), Gaya Celebes (di Makassar), Iwama (Ikatan Waria Malang), FKW (Forum Komunikasi Waria) untuk Jakarta, Iwaba (Ikatan Waria Bandung), Hiwat (Himpunan Waria Jawa barat) serta beberapa organisasi lain yang bermunculan dan konsen memperjuangkan hak-hak kemanusian kelompok marginal ini, setidaknya menyuarakan suara-suara perih kaum waria (secara khusus) dan kaum homoseksual (secara umum) yang selama ini ditindas oleh wacana mainstream (agama dan negara). Kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa berperilaku menjadi waria tentu memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah, yakni penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun non verbal. Penolakan terhadap waria tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial atas. Oetomo (2003:31) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit memahami eksistensi waria, mereka memiliki pandangan negatif terhadap waria dan enggan bergaul dengan waria dibanding masyarakat strata sosial bawah yang lebih toleran. Sementara menjadi waria merupakan salah satu bagian dari masyarakat hendaknya mampu diterima pada semua kalangan baik kalangan atas maupun bawah. Hal ini disebabkan karena sebuah masyarakat adalah sistem yang saling berkaitan dan berhubungan satu sama lainnya. Namun pada akhirnya, kehadiran sosok waria tetaplah hari ini masih diterima secara dilematis. Pada satu sisi waria diterima namun di sisi yang lain mereka ditolak. Pada akhirnya, menjadi sosok waria di kota Makassar merupakan sebuah proses negosiasi terhadap lingkungan yang tiada akhir. Seorang waria diterima atau ditolak di dalam masyarakat akan sangat ditentukan dari bagaimana mereka membangun negosiasi dengan masyarakat untuk menjadi bagian dari lingkungan sosial itu sendiri. Sehingga keputusan masyarakat untuk menolak atau menerima kehadiran waria, pada akhirnya ditentukan oleh kemampuan seorang waria, baik secara individual maupun kolektif dalam merepresentasikan perilakunya sehari-hari. Oleh karena itu, dengan uraian diatas peneliti menganggap bahwa dari berbagai kompleksitas dinamika kehidupan waria, sisi inilah yang kemudian penulis merasa menarik untuk diteliti. Maka melalui uraian dan ilustrasi di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Strategi Kaum Waria Dalam Mempertahankan Eksistensinya�.

B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan diatas, tulisan ini berupaya untuk menguraikan bagaimana pengetahuan dan strategi negosiasi waria kota Makassar dalam menghadapi hambatan sosialnya di tengah masyarakat sehingga mereka dapat diterima dalam ruang-ruang sosial. Agar penelitian ini lebih terarah dan sistematis, maka penulis bermaksud membatasi penelitian ini sebagai berikut : 
  1. Bagaimanakah strategi negosiasi waria kota Makassar dalam ruang-ruang sosial? 
  2. Bagaimana upaya waria kota Makassar dalam menghadapi hambatan sosial masyarakat? 
  3. Seperti apa peran organisasi sosial kelompok waria kota Makassar dalam memperkenalkan citra positif kelompok waria?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
  1. Untuk menggambarkan bagaimana strategi waria dalam merepresentasikan dirinya pada ruang-ruang sosial sehingga mereka dapat diterima oleh masyarakat. 
  2. Untuk menggambarkan bagaimana cara mereka menegosiasikan identitas gender mereka dalam dunia sosial sehingga mereka dapat bertahan sampai sekarang.

D.Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian ini adalah:
  1. Dapat digunakan sebagai bahan kajian akademis dalam ilmu sosial terutama di bidang Antropologi Sosial.
  2. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah (pemangku kebijakan) dan kalangan praktisi yang hendak mengeluarkan kebijakan/keputusan yang berkaitan langsung dengan isu seksualitas dan gender yang ada pada masyarakat Indonesia.

E. Kerangka Konseptual
Kehidupan manusia secara nyata selalu dapat tergambarkan dalam proses-proses sosial yang terjadi dan terdapat dalam masyarakat. Kita memahami bahwa setiap kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, masing-masing individu lahir dengan kebutuhan reguler untuk menjalin hubungan. Kebutuhan tersebut dituangkan dalam komunikasi antarindividu, kelompok maupun organisasi. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, waria sebagaimana merupakan individu maupun kelompok juga tak lepas dari interaksi sosial dengan lingkungan sosialnya. Hal seperti ini menurut Gillin dan Gillin dalam Soekanto (2005:61) menyatakan bahwa interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Lebih jauh lagi menurut Narwoko dan Suyanto (2007:57) bahwa proses sosial adalah setiap interaksi sosial yang berlangsung dalam satu jangka waktu sedemikian rupa, hingga menunjukkan pola-pola pengulangan hubungan prilaku dalam kehidupan masyarakat. Dijelaskan pula bahwa interaksi sosial dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu interaksi sosial yang asosiatif dan interaksi sosial yang disosiatif. Interaksi sosial asosiatif adalah apabila proses itu mengidentifikasikaan adanya “gerak dan penyatuan� sedangkan proses disosiatif adalah proses yang ditandai adanya suatu pertentangan atau pertikaian yang tergantung sekali pada unsur-unsur budaya yang menyangkut struktur masyarakat dan sistem nilai-nilainya. Sebagai bagian dari masyarakat, waria tentu senantiasa berhadapan dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam masyarakat, ada banyak kebudayaan yang hidup dan berkembang. Setiap kebudayaan memiliki sistem aturan dan normanya sendiri. Sistem aturan dan norma tersebut seringkali dianggap sebagai sebuah masalah sosial ketika tidak berkesesuaian dengan harapan sebagian warga masyarakat yang juga memiliki sistem aturan dan normanya sendiri. Soekanto (1986:394) mengemukakan bahwa masalah sosial merupakan suatu keadaan dimana cita-cita warga masyarakat tidak terpenuhi karena keadaan sosial dalam masyarakat. Keadaannya bisa bermacam-macam, salah satunya adalah kerenggangan sosial. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial; atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial. Senada dengan hal tersebut, Soetarno (1989:58) memberikan pengertian masalah sosial sebagai suatu masalah yang timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan sosial yang tidak atau belum terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan sosial yang tidak atau belum terpenuhi tersebut hanya dapat dicapai dengan cara melakukan negosiasi yang tiada henti, karena kebutuhan manusia termasuk waria tidak akan pernah benar-benar terpenuhi seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya zaman. Selalu saja ada kebutuhan-kebutuhan baru yang akan bermunculan. Waria dalam hal ini tentunya merupakan salah satu bagian masyarakat yang mengalami proses sosial disosiatif. Kehadirannya ditengah-tengah masyarakat belum sepenuhnya dapat diterima secara total. Dalam lingkungan tempat tinggal, mereka terisolir dari keluarga dan teman bermain karena kondisi dirinya sehingga mereka terpaksa mencari teman yang senasib. Di lingkungan beragama juga demikian, dalam beberapa kesempatan mereka belum bisa menunaikan kewajiban mereka sebagai umat beragama seperti sholat, pengajian atau dalam kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Mereka masih menerima cibiran, cemoohan dan gunjingan dari masyarakat. Hal ini berdampak pada kehidupan mereka secara sosial, ekonomi bahkan politik serta bisa dikatakan menyangkut setiap aspek kehidupan yang ingin mereka jalani dengan baik. Masalah sosial yang kemudian menjadi hambatan sosial tersebut dialami kaum waria meliputi hampir di seluruh aspek kehidupan sosial seperti dalam hal kesempatan pendidikan, kesempatan bekerja, kesempatan dalam kegiatan keagamaan, kesempatan dalam kehidupan keluarga dan hambatan kesempatan perlindungan hukum. Permasalahan kaum waria berkaitan dengan kondisi dirinya tersebut mengakibatkan renggangnya hubungan waria dengan lingkungan sosialnya, baik dalam lingkungan kerja, lingkungan beragama maupun lingkungan sosial. Hal ini menyebabkan mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan mengakses sumber-sumber yang ada, masih rendahnya pendapatan yang mereka peroleh menyebabkan belum terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan) dengan baik (http://jurnalhaji.antara.co.id/berita/1259879690/komunitas-waria-belum-mendapatkan-kesempatan-kerja-layak). Kerenggangan ikatan sosial dan atau perbedaan kepentingan tersebut sejatinya menempatkan manusia untuk saling berkompromi atau bernegosiasi. Negosiasi diperlukan dalam kehidupan manusia karena sifatnya yang begitu erat dengan filosofi kehidupan manusia, dimana setiap manusia memiliki sifat dasar untuk berusaha mempertahankan kepentingannya yang mana pada satu sisi, manusia lain juga memiliki kepentingan yang akan tetap dipertahankan, sehingga, terjadilah benturan kepentingan. Padahal, kedua pihak tersebut memiliki suatu tujuan yang sama, yaitu memenuhi kepentingan dan kebutuhannya. Apabila terjadi benturan kepentingan terhadap suatu hal, maka timbullah suatu sengketa. Pada akhirnya sengketa tersebut menjadi hambatan yang berarti pada sekelompok orang atau komunitas yang terkucilkan (mengalami diskriminasi). Mills (1993:7) berpendapat bahwa dalam negosiasi, kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang sama dan kepentingan yang bertentangan. Oleh karena itu, dipercaya bahwa negosiasi hampir selalu akan dihadapi oleh setiap manusia, apalagi bagi sekelompok individu yang belum mendapatkan “tempat� yang cukup baik di tengah masyarakat, seperti halnya kelompok waria. Negosiasi sesungguhnya merupakan unsur yang penting dalam menentukan sebuah kelompok atau individu dapat diterima dalam ruang-ruang sosial. Dalam kamus Bahasa Indonesia, negosiasi adalah merundingkan, membicarakan sesuatu untuk mencapai kata sepakat, atau bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Pengertian tersebut tidak secara linear kita maknai sebagai suatu proses perundingan atau musayawarah secara formal seperti yang biasa dilakukan anggota DPR di gedung MPR ketika membicarakan suatu kasus tertentu terkait penyelenggaraan Negara misalnya. Namun tidak hanya terbatas pada itu, negosiasi memiliki cakupan pengertian yang lebih luas lagi. Ketika melibatkan pengetahuan, yang tentu saja oleh kelompok berkepentingan tersebut dalam rangka penyelesaian konflik atau pertentangan kepentingan, maka terjadilah negosiasi disitu. Jadi, negosiasi adalah proses atau upaya menggunakan informasi dan kekuatan ke dalam suatu “jaringan yang penuh dengan tekanan� (Prasetyono, 2007:38). Sadar tidak sadar langsung atau tidak langsung bahwa dalam kenyataannya kita akan selalu bernegosiasi setiap waktu. Kartono (1978:265), mengatakan bahwa istilah waria berasal dari kata “Wanita-Pria�, disamping itu mendapat sebutan lain seperti Wadam (Wanita-Adam). Kemudian Rowe (2007:9) menambahkan lebih jauh bahwa dalam “body politic�, pada umumnya mereka sering disebut dengan nama-nama yang remeh yang penuh dengan kesan-kesan negatif, contohnya “banci� dan “bencong�. Vernakular yang digunakan oleh waria untuk mengartikulasikan identitas mereka kebannyakan merupakan istilah-istilah yang berdasarkan kosakata dan teori-teori barat: yaitu gender, seksualitas, orientasi seksual dan lain-lain. Menurutnya, hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosio-seksual yang konservatif, dimana kata seksualitas dan hubungan seksual menjadi subyek-subyek linguistik yang tabu karena di dalam kebudayaan Indonesia, identitas seseorang adalah sesuatu yang tidak dipertanyakan atau dipahami sebagai konsep yang harus diartikan dan dimaknai secara sadar. Dari sudut pandang psikologi ilmiah, waria 'condong' digolongkan pada gangguan identitas jenis (gender identity disorders). Gangguan ini ditandai dengan adanya perasaan tidak senang terhadap jenis kelamin. Dengan begitu, ia berperilaku seperti lawan jenisnya. Yang masuk dalam golongan ini antara lain adalah transeksualisme, gangguan identitas jenis masa anak-anak (pratran-seksualisme) dan gangguan identitas jenis tidak khas (Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa. Tim Direktorat kesehatan Jiwa, edisi II, cetakan pertama, 1985 halaman 223). Perasaan tidak suka pada jenis kelamin ini bukan karena alat kelaminnya terlalu kecil atau tidak aktif, sehingga si empunya tidak mendapat kepuasan, tetapi karena ia merasa alat kelaminnya tidak pada tempatnya. Dan perasaan tersebut terus selalu mengganggu, sehingga ada keinginan untuk menghilangkan ciri-ciri kelaki-lakiannya (kalau ia merasa perempuan), atau ciri kewanitaannya (kalau ia merasa laki-laki) (Atmojo, 1987:33). Di kalangan awam, tidak sedikit yang kemudian memahami atau mempertautkan waria dengan homoseks, seakan-akan waria identik dengan gay. Padahal, waria dan gay merupakan dua fenomena yang terpisah, betapapun dalam hal-hal tertentu keduanya masih dapat digolongkan sebagai penyimpangan seksual. Kelainan seksual tersebut antara lain adalah parafilia. Kelainan ini ditandai dengan adanya ketidaklaziman pada obyek serta situasi seksualnya. Dalam taraf tertentu, penderita akan terhambat kemampuannya untuk melakukan hubungan seksual secara timbal balik. Penderita jenis ini juga memerlukan khayalan atau perbuatan yang tidak lazim untuk bisa bergairah. Umumnya, ia lebih menyukai pemakaian benda untuk merangsang dirinya sendiri. Dan tidak jarang melakukan hubungan seks dengan pasangan yang justru tidak menghendakinya. Adapun yang termasuk ke dalam golongan jenis ini antara lain sexual sadism, sexual masochisme, zoophylia, voyeurisme, fetishisme, pedophylia, exhibitionisme, dan transvestisme (Atmojo, 1987:35). Salah satu kelainan di atas yaitu transvestisme sering disebut-sebut orang banyak menjelaskan soal waria. Karena orang yang menderita kelainan ini mendapatkan kegairahan dengan cara memakai pakaian lawan jenisnya. Namun, jika dilihat dari penggolongannya saja, jelas terdapat perbedaan antara transeksualisme dan transvestisme. Pada transeksualisme, identitas jenisnya yang terganggu, sedangkan transvestisme termasuk parafilia, obyek dan situasinya yang tidak normal. Penderita transeksual berpakaian wanita (jika laki-laki) atau berpakaian pria (jika dia wanita) karena merasa ada ketidak sesuaian antara fisik dan jiwanya. Tetapi pada transvestisme tidak begitu persoalannya. Penderita ini berpakaian lawan jenisnya justru untuk mendapatkan gairah seks. Dengan begitu, bisa saja penderita ini hanya sesekali memakai pakaian lawan jenisnya. Jelas sekali bahwa penderita transeksual ingin sekali menghilangkan ciri-ciri kelaki-lakiannya ataupun sebaliknya. Sedangkan pada transvestisme tidak perlu begitu. Misalnya, kalau dia laki-laki, dia tetap suka pada ciri kelaki-lakiannya, meskipun dia memakai rok. Ia tetap senang bisa bersenggama dengan wanita walau ada juga yang senang dengan sesama jenis. Dan meskipun memakai rok, mungkin saja ia tetap memasang kumisnya yang tebal. (Atmojo, 1987:36-37). Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua waria ingin atau telah menghilangkan ciri-ciri fisik kelaki-lakiannya. Seperti yang dikatakan oleh Sara (2007:25-26) bahwa kebanyakan dari teman-teman waria, masih banyak yang mengatakan bahwa mereka sudah cukup nyaman dengan kondisi fisiknya (masih punya alat reproduksi laki-laki) walaupun dalam keseharian mereka berpenampilan seperti seorang perempuan. Hal ini berbeda dengan seorang transeksualisme male to female/female to male) dimana ada ketidaknyamanan dan ketidakpuasan dengan biologisnya, gender maupun seksualitasnya. Sehingga ada beberapa atau (bahkan) kalau boleh dikatakan sedikit dari sekian waria yang melakukan operasi kelamin, yang pada akhirnya akan lebih senang dan puas jika disebut perempuan, seperti yang sudah dilakukan Dorce misalnya. Namun kemungkinan hal itu lebih banyak dikarenakan atas pertimbangan ekonomi. Operasi tersebut memang tidak murah, sedangkan penghasilan mereka rata-rata rendah. Konsep lain yang dapat menjelaskan waria adalah konsep transgender. Didalam definisi sosiologi disebutkan bahwa waria adalah suatu transgender, dimana dari sikap atau perilaku maskulin berubah/merubah diri ke feminin dalam menjalani kehidupan kesehariannya, tanpa harus melakukan perubahan-perubahan yang mendasar pada kondisi fisiknya, termasuik melakukan operasi pada alat kelaminnya agar bisa menyerupai seorang perempuan (Sara, 2007:25). Dari konsep tersebut, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa kenyataannya ternyata tidak semua waria adalah transeksual tetapi semua waria adalah transgender. Ada waria yang transeksual dan waria yang a-transeksual. Sebagai tambahan, indikator lain untuk dapat mengidentifikasi kaum waria adalah pergantian nama-nama. Kalau secara fisik laki-laki, umumnya mereka mengganti namanya dengan nama perempuan. Jelas ini adalah usaha penyesuaian dengan kondisi yang dirasakan. Dan sepengetahuan penulis, hampir semua waria telah melakukan hal tersebut. Mereka telah mengubah nama laki-lakinya menjadi nama perempuan sekalipun hal tersebut belum secara formal atau legal (terdaftar dalam dokumen/akta). Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa penelitian ini akan berupaya memahami dan mengkaji cara berpikir waria berkenaan dengan berbagai usaha dan strategi negosiasi yang mereka lakukan agar hambatan sosial yang hadir ditengah masyarakat dapat mereka lalui dan hadapi sehingga mereka dapat menjalani kehidupan sampai sekarang tanpa mengganggu eksistensi mereka secara substansial. Meskipun demikian, penelitian ini juga mencoba untuk mengkaji bagaimana kemampuan bertahan kelompok waria ditengah berbagai masalah dan hambatan sosial masyarakat. Selain itu, peneliti juga bermaksud menggali beberapa informasi kepada masyarakat yang dalam hal ini juga merupakan salah satu sumber informasi berkenaan persepsi mereka terhadap kondisi gender waria. Penggalian informasi tersebut atas kepentingan analisis perbandingan persepsi, yakni antara waria terhadap identitas gendernya dan persepsi masyarakat terhadap kondisi gender waria. Dengan demikian, data yang didapatkan dapat menjadi suatu wacana yang komprehensif menyangkut anggapan atau kepercayaan masyarakat bahwa menjadi waria adalah sesuatu yang haram atau tidak, misalnya. Paling tidak, telah diasumsikan bahwa ada beberapa golongan dalam suatu masyarakat yakni ada golongan orang yang bisa menerima waria secara total, menerima waria secara setengah-setengah dan tidak menerima waria sama sekali. Perbandingan ini pula dapat membantu memberikan sedikit banyak penjelasan tentang hambatan sosial yang hadir di tengah-tengah masyarakat.


BAB II METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif-deskriptif, Bungin (2008;68) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat studi kasus, yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian yang berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu. Dalam format penelitian kualitatif ini, peneliti akan mengkaji bagaimana pengetahuan dan kemampuan waria berkenaan dengan strategi negosiasi menyangkut penerimaan masyarakat terhadap identitas gender mereka. Oleh karena itu, menurut Patton (Ahmadi, 2005;3) bahwa penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena yang sedang terjadi secara natural (alami) dalam keadaan yang sedang terjadi secara alami. Dengan menggunakan metode kualitatif yaitu berusaha untuk menghasilkan gambaran atau lukisan secara nyata, sistematis dan akurat sesuai dengan data dilapangan. Pengumpulan data pada penelitian ini tidak bersifat kaku, akan tetapi senantiasa disesuaikan dengan keadaan atau fenomena di lapangan. Dengan demikian hubungan antara peneliti dengan apa yang diteliti tidak dapat dipisahkan, validitas data sangat ditentukan oleh penelitinya, oleh karena itu peneliti harus cermat, tanggap dan mampu memberi makna fenomena yang terjadi dilapangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode kualitatif bersifat alamiah, induktif dan dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami apa yang terletak di balik fenomena yang muncul dilapangan yang sulit untuk diungkap dengan metode kuantitatif.
Berdasarkan karakteristik tersebut, maka peneliti memilih jenis penelitian kualitatif dengan alasan; 1. Melalui penelitian kualitatif realitas yang terjadi dilapangan dapat terungkap secara mendalam dan mendetail. 2. Penelitian kualitatif dapat menemukan makna dari suatu fenomena yang terjadi dilapangan, karena sifatnya naturalis induktif dan diskriptif.

B. Lokasi Penelitian 
Penelitian ini akan dilaksanakan di Makassar yakni di tempat-tempat yang di identifikasi merupakan tempat kaum waria berkumpul atau membentuk organisasi. Adapun beberapa pertimbangan pemilihan

C. Informan Penelitian 
Penentuan informan dilakukan secara sengaja yaitu waria-waria yang masih bermukim di daerah Kota Makassar, serta orang-orang yang mampu memberikan informasi mengenai masalah yang diteliti dengan asumsi bahwa informan tersebut memiliki “keahlian� tentang fenomena yang hendak didalami.

D. Teknik Pengumpulan Data 
Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan sesuai dengan fokus penelitiannya. Teknik pengumpulan data harus disesuaikan dengan metode penelitian dan fokus penelitian, sehingga mempermudah peneliti untuk memperoleh data yang valid. Menurut Bungin (2008;139) teknik pengumpulan data yang tepat untuk penelitian kualitatif antara lain adalah teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dan observasi partisipasi (participant observer). Khususnya pada wawancara mendalam, teknik ini memang merupakan teknik pengumpulan data yang khas bagi peneliti kualitatif. hal ini sejalan dengan Paton (Ahmadi; 2005;57) bahwa cara utama yang dilakukan oleh para ahli metodologi kualitatif untuk memahami persepsi, perasaan, dan pengetahuan seseorang adalah wawancara mendalam dan intensif. Berdasarkan tujuan penelitian, maka data yang dibutuhkan bersifat kualitaif.
Untuk itu maka dalam penelitian ini akan digunakan teknik sebagai berikut :

a. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Dalam penelitian kualitatif wawancara merupakan alat yang sangat dominan untuk mengumpulkan data, karena dengan wawancara, peneliti melakukan komunikasi langsung secara mendalam dengan informan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh keterangan, pendapat secara lisan sekaligus dapat menarik makna dari keterangan yang dikemukakan informan.

b. Observasi 
Observasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan terhadap fenomena tertentu sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Pengamatan yang dilakukan harus secermat mungkin sehingga dapat menghasilkan data yang valid, yang berarti bahwa hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran penelitian. Pengamatan dimaksudkan untuk menghimpun berbagai fenomena yang berhubungan dengan aktifitas negosiasi sosial waria terhadap masyarakat dimana mereka tinggal. Dalam pengamatan ini peneliti akan menggunakan; catatan-catatan, dan kamera sebagai alat dokumentasi observasi. Pengumpulan data dilakukan langsung oleh peneliti dengan pertimbangan; (1) peneliti merupakan alat yang peka dan dapat bereaksi terhadap situasi dari lingkungan yang diperkirakan bermakna bagi peneliti, dan (2) peneliti sebagai alat yang dapat langsung menyesuaikan diri terhadap segala aspek yang diteliti dan dapat segera menganalisis data yang diperoleh.

c. Studi Pustaka (Study Literature) 
Peneliti akan melakukan studi terhadap berbagai literatur yang berkenaan dengan judul penelitian dan masalah penelitian guna untuk menjadikan acuan penelitian dan membedakan penelitian ini dengan penelitian yang lain yang mengkaji fenomena kehidupan waria dan juga akan menentukan kerangka konsep yang akan digunakan.

E. Teknik Analisis Data 
Analisis data pada penelitian kualitatif dimulai dari pengumpulan data sampai kepada penarikan kesimpulan penelitian. Oleh karena itu peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian. Data yang telah dikumpulkan setiap hari selama penelitian akan dibuatkan laporan lapangan, untuk mengungkapkan data apa yang masih perlu dicari, pertanyaan apa yang belum dijawab, metode apa yang harus digunakan untuk mendapatkan informasi baru, dan kesalahan apa yang perlu diperbaiki, serta data yang mana yang tidak diperlukan. a) Reduksi Data Data yang diperoleh dilapangan langsung diketik dengan rapi, terinci secara sistematis setiap selesai mengumpulkan data. Laporan lapangan direduksi, yaitu dengan memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan masalah penelitian, selanjutnya diberi tema dan kode pada aspek tertentu. b) Pengambilan Kesimpulan Sejak dimulainya penelitian, peneliti berusaha mencari makna dari data yang diperolehnya, sesuai dengan tujuan penelitian kualitatif yang dikatakan oleh Bungin (2005; 68) yakni untuk mencari ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, dan hal-hal yang sering muncul. Maka ditarik kesimpulan, kemudian dilakukan verifikasi secara terus-menerus setiap kali memperoleh data baru, hingga kesimpulan yang diambil menjadi semakin jelas.

F. Pengabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif, pengabsahan data merupakan salah satu faktor yang sangat penting, karena tanpa pengabsahan data yang diperoleh dari lapangan maka akan sulit seorang peneliti untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya. Untuk melihat derajat kebenaran dari hasil penelitian ini, maka dilakukan pemeriksaan data, hal ini didasarkan pada pandangan Moleong (1990;179) yang mengisyaratkan bahwa “untuk menetapkan keabsahan data diperlukan pemeriksaan data�. Pengabsahan data dalam penelitian ini, maka akan dilakukan dengan melalui cara; (1) mendiskusikan dengan teman-teman mahasiswa S1 khususnya mahasiswa antropologi baik secara formal maupun nonformal atau mendiskusikan dengan para dosen antropologi fisip unhas, (2) dilakukan triangulasi dengan melakukan cross check dengan sumber data yakni membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, (3) dilakukan pengamatan secara tekun, (4) dilakukan pengecekan terhadap temuan dilapangan. Selain itu mengecek apakah hasil penelitian ini benar atau salah sesuai dengan metodologi yang digunakan, dan peneliti selalu mendiskusikan dengan dosen pembimbing.

DAFTAR PUSTAKA
  • Ahmadi, Ruslam. 2005. Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif. Universitas Negeri Malang. Malang.
  • Atmojo, Kemala. 1987. Kami Bukan Lelaki. Cetakan Kedua. PT. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta Utara.
  • Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
  • Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Cetakan Kedua. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
  • Kaplan, David & Robert Manners. 2002. Teori Budaya. Cetakan Ketiga. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
  • Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial I. Penerbit Rajawali Pers. Jakarta. Maleong, Lexy. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rusda Karya.
  • Mills, Harry A. 1993. Negosiasi Seni Untuk Menang. Binarupa Aksara. Grogol, Jawa Barat.
  • Narwoko, J. Dwi & Bagong Suyanto.2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Prenada Media Group. Jakarta.
  • Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara Pada Yang Bisu. Cetakan Kedua. Pusaka Marwa Yogyakarta. Yogyakarta.
  • Oetomo, Dede. 2006. Memperjuangkan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Identitas Gender Dan Seksualitas Di Indonesia. Disajikan sebagai naskah presentasi pada Semiloka Hak atas Kebebasan Pribadi bagi Kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Interseksual, Transgender dan Transeksual. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kuta, 15â€"16 Agustus 2006.
  • Prasetyono, Dwi Sunar. 2007. Seni Kreatif Lobi dan Negosiasi. Penerbit Think. Yogyakarta.
  • Rowe, Emily. 2007. Sekapur Sirih. Dalam Waria: Kami Memang Ada. PKBI DIY. Yogyakarta.
  • Sara, Yuni. 2007. Sudah Adakah Kesetaraan di Kelompok Waria?. Dalam Waria: Kami Memang Ada. PKBI DIY. Yogyakarta.
  • Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
  • antara.com. 4 Desember 2009. Komunitas Waria Belum Mendapatkan Kesempatan Kerja Layak.. Di akses pada tanggal 8 April 2010.

Follower

 
Great HTML Templates from easytemplates.com | Edited by Soe86